• Imagen 1 Resensi Negeri 5 Menara
    Tidaklah sulit mengenali sebuah novel berkualitas. Sebuah logo pada sampul depan bertuliskan BEST SELLER dan berbagai opini positif dari para tokoh terkenal

Suatu Hari Nanti

Suatu hari nanti...
Mungkin akan ada seseorang yang akan dengan senang hati berjalan bersisian denganku. Menggenggam tanganku, menyejajari langkahku sambil berkata, "aku akan menemanimu kemana saja, my man. Tentu saja"

Suatu hari nanti....
Mungkin akan ada seseorang yang mau kurepotkan berkali-kali. Akan selalu ada untuk membereskan meja kerjaku. Akan selalu tersedia untuk membuatkan secangkir kopi hangat, bahkan menyiapkan air panas untuk kupakai mandi. Dan dia melakukannya dengan penuh cinta.

Suatu hari nanti....
Mungkin akan ada seseorang yang tiba-tiba memelukku dari belakang sambil mengagetkanku. Menyebalkan, tetapi menjadi sangat menyenangkan kalau dia yang melakukan.

Aku Ingin Menjalani Cinta yang Sederhana

Aku ingin menjalani cinta yang sederhana, semisal mengajakmu duduk di sekitar angkringan jalan malioboro, sembari mendengar alunan musik panggung jalanan. Bersama menyeruput kopi joss atau menikmati hangatnya susu jahe di tengah hingar-bingar dan riuhnya kota jogja.

Aku ingin menjalani cinta yang sederhana. Cukup dengan kamu mendengar aku bercerita, lalu tertawa. Atau giliran aku yang mendengarmu bercerita, dan lagi-lagi tertawa.. Walau lagi-lagi di antara percakapan-percakapan menyenangkan kita, hanya ada sego kucing dan wedang uwuh kesukaanmu. Tidak apa-apa. Karena percuma jika di restoran mewah bukan? Kalau di sini ternyata kamu, aku, kita, lebih menikmati setiap sepermili detik momen-momen kebersamaannya.

Untuk Seseorang yang Tak Bisa Kubahagiakan

Halo, kamu.. Aku tak bermaksud menanyakan kabarmu, karena aku tahu kabarmu sudah jauh lebih baik sekarang. Benar, kan? Tentu saja. Karena jika tujuanmu pergi dariku agar kamu lebih bahagia, seharusnya kamu sudah bahagia sekarang. Ya, aku sudah melepaskanmu sekarang, bahkan sebelum benar-benar melepaskan, aku tidak benar-benar mengikatmu, bukan? Agar sewaktu-waktu kamu meminta pergi, kamu bisa pergi dengan mudah.

Entah kenapa setelah kamu akhirnya pergi, aku bertambah lega sekarang. Jangan dulu salah paham, aku bahagia bersamamu sesungguhnya. Paling tidak, aku tak pernah merasa kesepian karena kamu bisa menyapaku kapan saja. Kalau aku ingin ngobrol, kalau aku kerepotan, termasuk juga kalau aku butuh diperhatikan, setidaknya kamu ada. Bahkan bisa dibilang, kamu selalu ada. Yang membuatku lega adalah kamu bisa mengejar bahagiamu sekarang. Mencari bahagia yang tidak kamu dapat dariku. Kamu harus menemukan bahagiamu, Harus! Seperti aku yang telah menemukan bahagiaku. Ya, aku sudah menemukannya. Kamu tahu sejak kapan? Tepatnya saat kamu memutuskan untuk mencintaiku pertama kali. Kemudian berlanjut sampai kamu bersedia menemaniku, menghabiskan banyak waktu bersamaku, hingga melakukan apa saja bersamaku. Itu adalah bahagiaku. Kalau kamu? Entahlah.

Tak Bisakah Kita Bertahan Dulu?

Aku suka menghabiskan banyak waktu untuk membaca buku. Buku apa saja, entah novel yang sering kamu hadiahkan untukku. Atau buku politik, hukum, sastra yang merupakan koleksi pribadiku. Lalu kita sibuk dengan buku kita masing-masing, meskipun aku berada di sampingmu, kita tidak saling bicara. Diam. Tapi bagiku itu menyenangkan. Selesai membaca, barulah kita akan saling menceritakan hasil bacaan kita masing-masing. Dan aku selalu meledekmu dengan mengatakan, “selera bacaanmu buruk”. Kemudian kamu menimpalinya dengan, “biarin. Kamu tuh bacaannya berat banget, terlalu filosofis, njelimet dan bikin pusing. Ayolah… baca yang ringan-ringan dikit, kek” . tatapan tajam dan muka cemberutmu ketika mengatakan itu hanya bisa kutimpali dengan gelak tawa. Iya, aku tahu kamu bercanda mengatakannya, toh, buku-buku yang katamu bacaan berat itu, adalah pemberianmu juga, kan?. Aku suka menghabiskan waktu dengan membaca buku, tapi tanpamu, rasanya mungkin tak akan lagi sama.

Aku suka mengunjungi tempat-tempat ramai di tengah kota. Entah itu taman, kafe, bioskop, atau apa saja sampai pulang larut malam. Tapi siapa pun yang kemudian menemaniku ke tempat itu, rasanya mungkin tidak lagi senyaman saat aku mengunjunginya bersamamu. 

Aku juga senang menatap layar handphone-ku, menemukan notifikasi dengan tulisan namamu ketika ada pesan Whatsapp, BBM, atau Line yang masuk, termasuk juga ketika mendengar dering telepon, dan itu datangnya darimu. Tapi tidak akan semenyenangkan itu lagi, karena setiap kali aku membukanya, menatap layar handphone berkali-kali, dan itu bukan namamu lagi.

Aku ingin kamu tinggal, tentu saja. Aku tidak ingin kita berpisah, itu benar. Tapi jika kamu memutuskan ingin pergi lantas aku bisa apa? Katamu hubungan ini sudah tidak bisa dipertahankan lagi. Bukankah kamu sendiri yang tidak mau berusaha bertahan? Dan saat aku berusaha untuk masalah ini agar dibicarakan dulu, kemudian berusaha mencari jalan keluar, katamu, “sudah tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan”. Kamu tidak pernah mencari tahu apa yang seharusnya kita bicarakan, lalu dengan mudah mengatakan tak ada lagi yang perlu dibicarakan.

Aku Pernah Mencintai Gadis Ini

Aku rasa, kita akan merindukan saat ini suatu hari nanti. Duduk di satu meja diiringi alunan musik yang memanjakan telinga. Bersama menyeruput kopi lalu bercerita sepanjang malam, dan tertawa setiap kali ada hal lucu yang kita bahas bersama. Aku suka mendengarmu bercerita. Kadang, untuk memperjelas suatu cerita, kamu seperti menggambar di suatu meja dengan jarimu, dan aku pun jadi bisa memahami deskripsi cerita yang kamu gambarkan, kemudian lagi-lagi tertawa. Aku juga suka mendengarmu tertawa. Pada tiap keriangannya, kerenyahannya, semuanya. Dan setiap suaramu yg terdengar di telinga, aku merekamnya dalam memori terbaik di otakku untuk kuputar kapan saja setiap kali aku menginginkannya. Lalu aku akan menyebut berulang namamu di hatiku. Iya, berulang. Tetapi kamu tak akan mendengarnya. Karena semua hanya terjadi di hatiku.

Seseorang Setelah Kamu

Saat masih bersamamu, aku seperti mengalami kejadian-kejadian yang ada di negeri dongeng. Selalu merasa lebih bahagia dari siapa pun, hingga aku bertanya dalam hati, apa benar ini dunia nyata? Tuhan mendesainnya indah sekali. Entah karena kamunya yang menjadi sebab, atau hatiku yang terlalu bahagia menerima kehadiranmu.

Saat masih bersamamu, aku tidak bisa tidak bahagia, termasuk ketika kamu dengan cekatan menyiapkan sarapan pagi untukku, termasuk ketika kamu menyodorkan minuman dingin persis di saat aku sedang merasakan haus yang amat sangat. Termasuk juga ketika kamu bersedia kuajak ke mana saja, lalu kita ciptakan momen-momen menyenangkan di sana, ngobrol berjam-jam di suatu kafe misalnya. Hanya hal-hal kecil, tetapi lebih dari cukup untuk membuatku merasakan senang tak terbilang.

Seseorang yang Tidak Sama Lagi

Sudah tidak ada gunanya lagi di sini, tempat ternyaman yang pernah tercipta karena kita saling membutuhkan. Saling mencari lantaran salah satunya tak memberi kabar. Saling rindu, hingga rindu itu terjelaskan dari tatap yang beradu setelah bertemu.

Sudah tidak ada gunanya lagi di sini, tempat yang membuatku selalu ingin pulang dan kembali. Kini sudah hambar sekarang. Dan sekarang nyatanya aku masih tetap di sini, bukan bermaksud ingin bertahan lebih lama, lebih karena takut untuk memutuskan pergi.

Tentang Mei, Aku, dan Belajar Melepaskan



Dia masih saja cantik seperti dulu. Caranya berjalan, tersenyum, menatap, masih juga seperti dulu. Iya, yang dulu pernah menyebabkan hatiku jatuh hingga tak ingin kuambil lagi. Yang dulu menjadi alasanku untuk jatuh cinta. Bedanya, kini dia terlihat lebih dewasa dan anggun. Menjadikannya terlihat lebih menarik sehingga memaksa mataku untuk sesekali melirik

Aku dan dia bersalaman dengan canggung. Dia tersenyum tanggung (walau tetap terlihat cantik), dan aku menimpalinya dengan senyum juga yang entah seperti apa dia memaknainya. Lalu, kami duduk berhadapan.

“sudah berapa lama ya kita tidak bertemu?” Tanya dia membuka percakapan.

“Lama, sudah lama sekali. Kamu apa kabar?” aku menimpali. Sedikit gugup menjawabnya. Dan semoga dia tidak mengenali kegugupan yang baru saja kurasakan.

“Aku baik, walaupun kadang-kadang menjadi sedikit tidak baik ketika tiba-tiba ingatan tentangmu mengunjungi kepala. Ups… Aku bercanda. Habisnya, kamu sering bertindak konyol sih waktu itu. Dan ketika mengingat itu, aku selalu senyum-senyum sendiri.. hehehe.”

Aku berdehem, lalu menatap sekilas matanya dan tersenyum. Aku lega, kalimat yang ia katakan tadi setidaknya mampu mencairkan suasana yang canggung ini.

“kamu , masih saja seperti dulu. Lucu dan cerewet. Menyebalkan sekaligus menyenangkan. Ini yang membuatku ingin selalu berbincang denganmu berlama-lama.”  Astaga, apa yang baru saja kukatakan? Merayunya? Aku melihat jelas wajahnya bersemu merah karena mendengar ucapanku tadi. Dan suasana yang sudah  mulai cair ini kembali canggung untuk beberapa saat. Untung saja, aku diselamatkan oleh pramusaji yang membawakan menu pesanan kami berdua. Cappuccino panas untukku dan hot chocolate untuknya. Menu yang sama, di kafe yang sama. Entah ini sudah yang ke berapa kalinya kami mengulanginya.

Malam ini Saja

Malam ini saja, izinkan aku mengucap terima kasih atas semua bahagia yang kamu ciptakan satu demi satu. Atas semua tawa yang tercipta dari ceplas-ceplosnya kamu. Atas setiap kejutan-kejutan yang kamu berikan dan membuatku tersanjung karenanya.

Malam ini saja, izinkan aku menatap binar matamu itu sambil berjanji, besok lusa kita masih akan tetap bersama melewati seberapa pun beratnya ujian di depan. Menghadapi serumit apa pun masalah demi masalah yang siap menghampiri kapan saja.

Malam ini saja, biarkan aku menggenggam jemarimu lekat. Memastikan bahwa bersamaku kamu tak akan kehilangan pegangan. Bahwa aku akan menuntunmu menuju Jannah-Nya. Karena ada surga yang tak bisa kumasuki, jika tanpamu.

| Blogger Template by BloggerTheme powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes | Converted by BloggerTheme