• Imagen 1 Resensi Negeri 5 Menara
    Tidaklah sulit mengenali sebuah novel berkualitas. Sebuah logo pada sampul depan bertuliskan BEST SELLER dan berbagai opini positif dari para tokoh terkenal

Untuk Seseorang yang Tak Bisa Kubahagiakan

Halo, kamu.. Aku tak bermaksud menanyakan kabarmu, karena aku tahu kabarmu sudah jauh lebih baik sekarang. Benar, kan? Tentu saja. Karena jika tujuanmu pergi dariku agar kamu lebih bahagia, seharusnya kamu sudah bahagia sekarang. Ya, aku sudah melepaskanmu sekarang, bahkan sebelum benar-benar melepaskan, aku tidak benar-benar mengikatmu, bukan? Agar sewaktu-waktu kamu meminta pergi, kamu bisa pergi dengan mudah.

Entah kenapa setelah kamu akhirnya pergi, aku bertambah lega sekarang. Jangan dulu salah paham, aku bahagia bersamamu sesungguhnya. Paling tidak, aku tak pernah merasa kesepian karena kamu bisa menyapaku kapan saja. Kalau aku ingin ngobrol, kalau aku kerepotan, termasuk juga kalau aku butuh diperhatikan, setidaknya kamu ada. Bahkan bisa dibilang, kamu selalu ada. Yang membuatku lega adalah kamu bisa mengejar bahagiamu sekarang. Mencari bahagia yang tidak kamu dapat dariku. Kamu harus menemukan bahagiamu, Harus! Seperti aku yang telah menemukan bahagiaku. Ya, aku sudah menemukannya. Kamu tahu sejak kapan? Tepatnya saat kamu memutuskan untuk mencintaiku pertama kali. Kemudian berlanjut sampai kamu bersedia menemaniku, menghabiskan banyak waktu bersamaku, hingga melakukan apa saja bersamaku. Itu adalah bahagiaku. Kalau kamu? Entahlah.

Tak Bisakah Kita Bertahan Dulu?

Aku suka menghabiskan banyak waktu untuk membaca buku. Buku apa saja, entah novel yang sering kamu hadiahkan untukku. Atau buku politik, hukum, sastra yang merupakan koleksi pribadiku. Lalu kita sibuk dengan buku kita masing-masing, meskipun aku berada di sampingmu, kita tidak saling bicara. Diam. Tapi bagiku itu menyenangkan. Selesai membaca, barulah kita akan saling menceritakan hasil bacaan kita masing-masing. Dan aku selalu meledekmu dengan mengatakan, “selera bacaanmu buruk”. Kemudian kamu menimpalinya dengan, “biarin. Kamu tuh bacaannya berat banget, terlalu filosofis, njelimet dan bikin pusing. Ayolah… baca yang ringan-ringan dikit, kek” . tatapan tajam dan muka cemberutmu ketika mengatakan itu hanya bisa kutimpali dengan gelak tawa. Iya, aku tahu kamu bercanda mengatakannya, toh, buku-buku yang katamu bacaan berat itu, adalah pemberianmu juga, kan?. Aku suka menghabiskan waktu dengan membaca buku, tapi tanpamu, rasanya mungkin tak akan lagi sama.

Aku suka mengunjungi tempat-tempat ramai di tengah kota. Entah itu taman, kafe, bioskop, atau apa saja sampai pulang larut malam. Tapi siapa pun yang kemudian menemaniku ke tempat itu, rasanya mungkin tidak lagi senyaman saat aku mengunjunginya bersamamu. 

Aku juga senang menatap layar handphone-ku, menemukan notifikasi dengan tulisan namamu ketika ada pesan Whatsapp, BBM, atau Line yang masuk, termasuk juga ketika mendengar dering telepon, dan itu datangnya darimu. Tapi tidak akan semenyenangkan itu lagi, karena setiap kali aku membukanya, menatap layar handphone berkali-kali, dan itu bukan namamu lagi.

Aku ingin kamu tinggal, tentu saja. Aku tidak ingin kita berpisah, itu benar. Tapi jika kamu memutuskan ingin pergi lantas aku bisa apa? Katamu hubungan ini sudah tidak bisa dipertahankan lagi. Bukankah kamu sendiri yang tidak mau berusaha bertahan? Dan saat aku berusaha untuk masalah ini agar dibicarakan dulu, kemudian berusaha mencari jalan keluar, katamu, “sudah tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan”. Kamu tidak pernah mencari tahu apa yang seharusnya kita bicarakan, lalu dengan mudah mengatakan tak ada lagi yang perlu dibicarakan.

Aku Pernah Mencintai Gadis Ini

Aku rasa, kita akan merindukan saat ini suatu hari nanti. Duduk di satu meja diiringi alunan musik yang memanjakan telinga. Bersama menyeruput kopi lalu bercerita sepanjang malam, dan tertawa setiap kali ada hal lucu yang kita bahas bersama. Aku suka mendengarmu bercerita. Kadang, untuk memperjelas suatu cerita, kamu seperti menggambar di suatu meja dengan jarimu, dan aku pun jadi bisa memahami deskripsi cerita yang kamu gambarkan, kemudian lagi-lagi tertawa. Aku juga suka mendengarmu tertawa. Pada tiap keriangannya, kerenyahannya, semuanya. Dan setiap suaramu yg terdengar di telinga, aku merekamnya dalam memori terbaik di otakku untuk kuputar kapan saja setiap kali aku menginginkannya. Lalu aku akan menyebut berulang namamu di hatiku. Iya, berulang. Tetapi kamu tak akan mendengarnya. Karena semua hanya terjadi di hatiku.

| Blogger Template by BloggerTheme powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes | Converted by BloggerTheme