Tentang Mei, Aku, dan Belajar Melepaskan



Dia masih saja cantik seperti dulu. Caranya berjalan, tersenyum, menatap, masih juga seperti dulu. Iya, yang dulu pernah menyebabkan hatiku jatuh hingga tak ingin kuambil lagi. Yang dulu menjadi alasanku untuk jatuh cinta. Bedanya, kini dia terlihat lebih dewasa dan anggun. Menjadikannya terlihat lebih menarik sehingga memaksa mataku untuk sesekali melirik

Aku dan dia bersalaman dengan canggung. Dia tersenyum tanggung (walau tetap terlihat cantik), dan aku menimpalinya dengan senyum juga yang entah seperti apa dia memaknainya. Lalu, kami duduk berhadapan.

“sudah berapa lama ya kita tidak bertemu?” Tanya dia membuka percakapan.

“Lama, sudah lama sekali. Kamu apa kabar?” aku menimpali. Sedikit gugup menjawabnya. Dan semoga dia tidak mengenali kegugupan yang baru saja kurasakan.

“Aku baik, walaupun kadang-kadang menjadi sedikit tidak baik ketika tiba-tiba ingatan tentangmu mengunjungi kepala. Ups… Aku bercanda. Habisnya, kamu sering bertindak konyol sih waktu itu. Dan ketika mengingat itu, aku selalu senyum-senyum sendiri.. hehehe.”

Aku berdehem, lalu menatap sekilas matanya dan tersenyum. Aku lega, kalimat yang ia katakan tadi setidaknya mampu mencairkan suasana yang canggung ini.

“kamu , masih saja seperti dulu. Lucu dan cerewet. Menyebalkan sekaligus menyenangkan. Ini yang membuatku ingin selalu berbincang denganmu berlama-lama.”  Astaga, apa yang baru saja kukatakan? Merayunya? Aku melihat jelas wajahnya bersemu merah karena mendengar ucapanku tadi. Dan suasana yang sudah  mulai cair ini kembali canggung untuk beberapa saat. Untung saja, aku diselamatkan oleh pramusaji yang membawakan menu pesanan kami berdua. Cappuccino panas untukku dan hot chocolate untuknya. Menu yang sama, di kafe yang sama. Entah ini sudah yang ke berapa kalinya kami mengulanginya.

Untuk beberapa saat, mata kami saling beradu. Tetapi aku kalah, kualihkan pandangan dengan melihat cappuccino di depanku. Dia masih mentapku, dan aku tetap menunduk. Ayolah! Jangan sering-sering memandangku seperti itu.

Aku melihat dia menatapku lekat lalu menghela napas panjang. Entahlah, sepertinya ada yang ingin dia katakan namun tertahan, sulit untuk diungkapkan. Aku mencoba menerkanya, menebak-nebak kalimat apa yang ingin ia katakan. Tetapi aku gagal membacanya.

“Kamu sendiri apa kabar, The clever man?” Tanyanya padaku. The clever man, dulu dia sering memanggilku dengan sebutan itu.

“Aku baik. Selalu sebaik yang dipikirkan dan diinginkan…”

Suasana kemudian hening sesaat, setelah aku menjawab pertanyaannya. 

“Ada perlu apa sebenarnya kamu memintaku bertemu di tempat ini lagi? Tempat yang dulu menjadi favorit kita. Terakhir kali kita ke tempat ini, dua tahun yang lalu, bukan? Ah iya, kalau tidak salah, di kafe ini juga kita bertemu terakhir kali sebelum kamu menghilang selama dua tahun ini. benar kan?” aku akhirnya mengajukan pertanyaan ini padanya, sambil berharap, semoga bahasan ini mampu memecah keheningan yang terjadi sejak pramusaji tadi pergi meninggalkan kami. Dan aku berdoa, semoga rentetan pertanyaan tadi tidak merusak suasana.
Dia tersenyum, senyum yang sangat kukenali. Dan hatiku masih berdesir ternyata. Dia bilang, “bukannya kamu yang paling bawel mengajariku tentang silaturahim, bukan? Bahwa memutus tali persahabatan dan persaudaraan adalah dosa yang tak termaafkan. Benar begitu, kan?”

Aku mengangguk takzim dengan apa yang baru saja dia katakan. “selain itu, adakah alasan lain? Kangen denganku misalnya” aku meledeknya dengan mengatakan itu.

“Ya..Ya..ya, kamu tidak berubah, masih ge’er seperti dulu. Jangan-jangan sifat gombal kamu juga belum berubah ya gombalers kelas wahid?”  jawabnya sambil menepuk bahuku. 

Aku tertawa lepas. Baiklah, sekarang sudah benar-benar mencair suasananya. Aku tertawa sambil meledek, hingga dia cemberut. Dan kau tahu, kawan? Cemberut saja dia masih secantik dulu.

“sudahlah, hentikan tawa jahatmu itu. Oh iya, aku membaca novel terbarumu,” ujarnya. Masih sambil mengaduk cangkir yang menurutku gulanya sudah larut sejak tadi.

“Lalu?”

“Lalu aku menemukan tokoh yang kurasa sangat mirip denganku. Bukan bermaksud Ge’er, tetapi dari cerewetnya, kekonyolannya, hidung mancungnya, suara cemprengnya, semuanya. Aku rasa aku sangat mengenalinya. Tokoh bernama Mei terutama.”

Sambil mendengarnya berceloteh, kuminum cappucinoku pelan. Dan hampir saja aku tersedak saat dia mengatakan sangat mengenali tokoh bernama Mei. Seharusnya aku menuruti kata hatiku dulu untuk tak membuat tokoh semirip itu. Aku pikir dia tidak akan mengenalinya dan tidak akan menyadarinya. Karena yang kutahu, dia tidak pernah suka fiksi baik itu cerpen atau novel. Tetapi memang aku selalu mengiriminya novel tulisanku. Walaupun dia tidak menyukai novel, tetapi dia selalu memaksaku untuk dikirimi novel buatanku. Untuk dipamerkan katanya. Dan kupikir, dia tidak akan membacanya. Hanya sekadar memamerkan kepada teman-temannya kalau dia memiliki sahabat seorang penulis. Ternyata aku salah.

Dia melirikku sebentar dan menangkap ekspresi kekagetanku, lalu melanjutkan kalimatnya lagi, “Jika kamu mengira aku tidak membaca bukumu, kamu salah. Aku juga membaca tulisan sahabatku dan tidak hanya memamerkannya. Setidak sukanya aku dengan fiksi, tapi kalu tulisan kamu, aku membacanya.” Astaga, dia seperti bisa membaca pikiranku. Tolonglah! Jangan sembarangan membaca pikiranku. 

“kamu pintar sekali menceritakan tokoh Mei. Aku menangkap pelaku utama dalam cerita itu sangat mencintai Mei. Selalu bahagia ketika berada di samping Mei. Bahkan bersama Mei adalah sebuah memorable moment. Momen yang tak terlupakan. Aku kemudian berpikir, menyenangkan sekali menjadi seorang Mei, dicintai sebegitunya oleh seseorang. Dan kamu tahu? Seandainya aku jadi Mei, aku tidak akan menyia-nyiakan seseorang yang mencintaiku seperti itu. Setelah itu aku berpikir lagi, bukankah Mei sangat mirip dengan karakterku. Cerewetnya, jahilnya, caranya tertawa, semuanya. Dan celakanya, aku sangat mengenal pelaku utamanya, itu kamu sendiri, kan? Aku akhirnya menyimpulkan bahwa yang kamu tuliskan adalah tentang kita. Tentang perasaan cinta yang tidak pernah kamu sampaikan. Tentang kepergianku yang menurutmu tiba-tiba. Iya, kan?”

Aku sempurna mematung. Sedangkan tatapan matanya seolah mengintimidasiku untuk segera menjawab pertanyaannya yang begitu menusuk. Apa yang harus kukatakan? Mengakui semuanya? Membantahnya walau memang seperti itulah kenyataannya? Aku kalah-sekalahnya dengan serangan yang ia lancarkan.

“Jawab, Yan. Jangan diam saja,” dia kembali mendesakku untuk segera menjawab.

“Baiklah, Maya. Iya, yang kamu bilang itu semuanya benar. Tidak sebagian, tidak separuhnya, tapi seluruhnya benar. Aa…aku… aku memang menuliskan cerita tentangmu. Tentang kita”

“Tapi kenapa?” ia berkata setengah membentak.

“kenapa apanya?”

“kenapa kamu tidak pernah mengatakannya? Kenapa menyembunyikan perasaanmu? Pintar sekali kamu menutupinya sehingga aku tidak pernah benar-benar menyadarinya. Kupikir, setiap gombalanmu, semua cuma bercanda. Kamu memang seperti itu, kan? Kamu selalu bersembunyi di balik sikap gombalmu. Pernah suatu kali aku menduga, menerka-nerka apakah kamu mencintaiku. Tetapi aku tak pernah bisa menemukan jawabnnya karena sikap kamu yang sulit ditebak itu. Kadang kamu sangat perhatian, kadang menyebalkan, kadang juga kekanak-kanakan, kadang cuek setengah mati, kadang menghilang,  kadang berlaku seperti seorang pahlawan. Dari sikapmu yang seperti itu, apa yang bisa aku simpulkan? Hingga akhirnya semua menjadi jelas ketika aku membaca semua tulisanmu. Tentang setiap detail perasaanmu. Tentang kerinduanmu padaku. Tentang semuanya. Semua menjadi jelas sekarang.” Dia menunggu kalimat berikutnya yang akan kusampaikan, sambil sesekali meneguk hot chocolatenya yang tentu saja sudah dingin dari tadi. Barangkali sama dinginnya dengan perasaanku saat ini.

“Apakah aku terlambat mengakuinya, May? Kamu sudah tahu sekarang. Maka adakah kesempatan kedua untukku? Kupikir kita bisa melanjutkannya lagi seperti dulu, bahkan lebih baik lagi.”

“Melanjutkan katamu? Memangnya kita sudah pernah memulainya? Kita tidak pernah benar-benar memulainya, Yan. Kamu tidak pernah mengatakannya, dan aku tidak mungkin mengakuinya lebih dulu. Kamu tahu? Aku menunggu di setiap momen kebersamaan kita, aku berharap disela-sela percakapan kita kamu mengutarakan perasaanmu padaku. Tapi itu tidak pernah terjadi. Aku masih menunggu saat itu, sampai orangtuaku memintaku untuk pulang menemuinya. Aku menemui orangtuaku, dan kata mereka aku akan dijodohkan dengan seorang lelaki, anak dari sahabat ayahku….” Dia tiba-tiba meneteskan air mata. Dulu ketika dia menangis, aku segera mengusap pipinya, menyeka air matanya dan menenangkannya. Tapi itu dulu, dulu sekali. Dia kemudian menyeka sendiri air matanya dan kembali melanjutkan kalimat yang terputus, “aku benar-benar bingung waktu itu. Apakah aku harus menerima perjodohan itu atau menolaknya? Jika harus menolak, apa alasan logis untuk menolaknya? Karena kamu? Perasaan kamu saja aku tidak mengetahuinya. Aku tidak mungkin mengatakan kepada kedua orangtuaku bahwa ada laki-laki lain yang mencintaiku dan aku mencintainya. Bagaimana jika kamu ternyata tidak mencintaiku.? Lalu aku memutuskan menjauh darimu. Menghilang untuk mencari jalan keluar mana yang harus kutempuh, sambil berharap semoga besok lusa kamu mencariku, memperjuangkanku dan mengatakan mencintaiku, yang sayangnya, itu tidak pernah terjadi. Lamaran sudah berkali-kali disiapkan, berkali-kali juga aku meminta untuk ditunda. Berharap kamu yang datang untuk melakukannya, tetapi lagi-lagi tidak pernah terjadi. Hingga akhirnya, tiga bulan lalu dia benar-benar datang melamar bersama serombongan keluarganya. Tidak ada masalah berarti untuk kemudian lamarannya diterima.”

Astaga! Kenapa aku baru mengetahui  fakta semacam ini? kenapa dia tidak mengatakan terang-terangan bahwa sebenarnya dia menungguku, kenapa? Ingin rasanya aku memarahinya karena dia baru menyampaikan hal maha penting ini sekarang. Tetapi aku urungkan.  Semua kesalahanku. Kalau saja aku lebih berani sebagai seorang laki-laki. Kalau saja aku tidak malu-malu mengatakan mencintainya waktu itu. Kini semua sudah terlambat, benar-benar terlambat.

“Ah iya, tentang novelmu, cerita tentang kita yang kamu tuliskan, itu tidak akan mengubah apa pun. Aku akan tetap menikah dengannya. Entah apakah aku akan mencintainya dengan cara yang sama seperti aku mencintaimu dulu atau dengan pemahaman cinta yang baru. Karena aku memang harus secepatnya memperbarui hati seberapa pun berantakannya. Segera! Kamu juga. Jika boleh aku meminta satu hal darimu, berhentilah menulis cerita tentang ku, Yan. Aku tidak bisa tidak menangis jika membaca tulisanmu, apalagi kalau itu tentang kita. Aku juga ingin kamu melupakan aku, tetapi tidak untuk melupakan sebagai sahabat, kita harus selalu menjadi teman yang baik. Pesanku, kamu juga harus memperbarui hatimu untuk orang lain yang akan mencintaimu lebih dari aku. kamu harus menemui hati yang baru dengan pemahaman cinta yang baru. Ada seseorang yang hanya boleh hidup di hati kita saja, tetapi tidak untuk di kehidupan nyata kita. Biarlah tetap begitu. Besok lusa kamu akan menemukan yang terbaik untukmu. Dan dalam kondisi seperti ini, kita harus belajar dua hal dalam satu waktu, belajar mencintai dan melupakan sekaligus. Meski aku sendiri tidak yakin, apakah aku bisa melakukannya.”

Kalian pasti berpikir, bahwa aku masih bisa membatalkan pernikahannya, kan? Toh, aku masih punya waktu satu minggu untuk menggagalkan pernikahannya. Lagipula, aku mencintainya dan dia mencintaiku. Apa lagi masalahnya? Kalian juga pasti akan menganggapku pahlawan karena berhasil menjemput gadis yang dicintainya di detik-detik terakhir pernikahannya dengan orang lain. Akui sajalah. Kita sering menganggap hal-hal seperti itu adalah tindakan pahlawan, padahal sebenarnya justru itu tindakan pengecut. Itulah sebabnya, tak sedikit pun aku berpikir untuk memperjuangkannya di detik-detik terakhir pernikahannya.

“Aku berdoa semoga kamu bahagia bersama laki-laki pilihanmu, ah, maksudku pilihan orangtuamu  atau siapalah yang memberi andil atas keputusanmu. Aku akan menuruti semua permintaanmu, tentu saja. Tetapi kalau boleh, pertemuan kita sore ini aku ingin menuliskannya. Aku ingin menuliskan cerita tentang kita ini sekali lagi, dan ini yang terakhir. Boleh, kan.?” Pintaku penuh harap.

“Baiklah, terserah kamu saja. Ah aku lupa satu hal, ini undangan pernikahanku. Pastikan kamu datang ya! Jangan terlambat dan jangan juga datang terlalu cepat.” Wajahnya yang sejak tadi murung perlahan mulai tersenyum lagi, walau sedikit dipaksakan.

Aku lalu menerima undangan yang ia sodorkan, membaca dengan hati-hati setiap huruf yang tertuliskan. Mengeja satu demi satu huruf di sana dan memastikan, apakah benar undangan itu tertulis namanya untuk mempelai perempuan dan bukan namaku untuk mempelai laki-lakinya. Dan tentu saja memang begitu. “Aku pastikan aku akan datang, May. Memberikan restu terbaik untukmu.” Jawabku mantap.

Dia tersenyum penuh penghargaan setelah mendengar jawabanku, dan berujar, “terima kasih, Yan. Kamu selalu baik. Oh ya, aku rasa aku harus pergi sekarang. Kita sudah terlalu lama di sini, bukan? Terima kasih karena telah bersedia datang. Kupikir setelah dua tahun tidak bertemu, kamu tidak mau menemuiku lagi. Tapi ternyata kamu datang, dan masih menyenangkan seperti dulu.” Dia lalu berdiri, menyodorkan tangannya untuk segera aku sambut. Kami bersalaman, tidak seberapa lama tetapi memberikan kesan yang sangat mendalam.

“Sampai jumpa, The clever man. Sampai bertemu lagi di acara pernikahanku.”

“Sampai jumpa, May. Semoga bahagia selalu.” Dia lalu melangkah meninggalkanku, dan aku memperhatikan langkahnya yang mulai menjauh. Mengamati punggungnya yang perlahan menghilang dan akhirnya lenyap dari pandangan. Selamat menempuh hidup baru, Mei.

Apakah hatiku remuk redam? Tentu saja. Apakah aku bisa mengikhlaskannya pergi? Jika tidak sekarang, setidaknya nanti pasti. Haruskah aku menyesali kebodohanku seumur hidup karena telah melewatkan kesempatan bersamanya? Iya. Tetapi tidak untuk seumur hidup, karena hidup terlampau singkat untuk dilewatkan hanya untuk menyesali yang sudah terjadi. Aku percaya besok atau nanti, waktu selalu bisa menyembuhkan luka ini sepanjang kita mau berdamai dengan masa lalu. Maka besok lusa, akan datang harapan baru, orang baru, dan hati yang baru.

Aku akan datang Mei...

####

(Cerita ini ada dalam buku saya, Cerah dalam Cinta. Bagi yang ingin memilikinya bisa menghubungi saya dengan membuka link ini http://abdurahman-el-farizy.blogspot.co.id/2015/03/cerah-dalam-cinta.html )

0 Response to "Tentang Mei, Aku, dan Belajar Melepaskan"

Posting Komentar

| Blogger Template by BloggerTheme powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes | Converted by BloggerTheme