Tentang Mei, Aku, dan Belajar Melepaskan
1/30/2016 10:19:00 PM
Kamu dan secangkir kopi sastra
,
0 Comments
Dia masih
saja cantik seperti dulu. Caranya berjalan, tersenyum, menatap, masih juga
seperti dulu. Iya, yang dulu pernah menyebabkan hatiku jatuh hingga tak ingin
kuambil lagi. Yang dulu menjadi alasanku untuk jatuh cinta. Bedanya, kini dia
terlihat lebih dewasa dan anggun. Menjadikannya terlihat lebih menarik sehingga
memaksa mataku untuk sesekali melirik
Aku dan dia
bersalaman dengan canggung. Dia tersenyum tanggung (walau tetap terlihat
cantik), dan aku menimpalinya dengan senyum juga yang entah seperti apa dia
memaknainya. Lalu, kami duduk berhadapan.
“sudah
berapa lama ya kita tidak bertemu?” Tanya dia membuka percakapan.
“Lama, sudah
lama sekali. Kamu apa kabar?” aku menimpali. Sedikit gugup menjawabnya. Dan
semoga dia tidak mengenali kegugupan yang baru saja kurasakan.
“Aku baik,
walaupun kadang-kadang menjadi sedikit tidak baik ketika tiba-tiba ingatan
tentangmu mengunjungi kepala. Ups… Aku bercanda. Habisnya, kamu sering
bertindak konyol sih waktu itu. Dan ketika mengingat itu, aku selalu
senyum-senyum sendiri.. hehehe.”
Aku
berdehem, lalu menatap sekilas matanya dan tersenyum. Aku lega, kalimat yang ia
katakan tadi setidaknya mampu mencairkan suasana yang canggung ini.
“kamu ,
masih saja seperti dulu. Lucu dan cerewet. Menyebalkan sekaligus menyenangkan.
Ini yang membuatku ingin selalu berbincang denganmu berlama-lama.” Astaga, apa yang baru saja kukatakan?
Merayunya? Aku melihat jelas wajahnya bersemu merah karena mendengar ucapanku
tadi. Dan suasana yang sudah mulai cair
ini kembali canggung untuk beberapa saat. Untung saja, aku diselamatkan oleh
pramusaji yang membawakan menu pesanan kami berdua. Cappuccino panas untukku
dan hot chocolate untuknya. Menu yang sama, di kafe yang sama. Entah ini sudah yang
ke berapa kalinya kami mengulanginya.
Untuk
beberapa saat, mata kami saling beradu. Tetapi aku kalah, kualihkan pandangan
dengan melihat cappuccino di depanku. Dia masih mentapku, dan aku tetap
menunduk. Ayolah! Jangan sering-sering memandangku seperti itu.
Aku melihat
dia menatapku lekat lalu menghela napas panjang. Entahlah, sepertinya ada yang
ingin dia katakan namun tertahan, sulit untuk diungkapkan. Aku mencoba
menerkanya, menebak-nebak kalimat apa yang ingin ia katakan. Tetapi aku gagal
membacanya.
“Kamu
sendiri apa kabar, The clever man?” Tanyanya padaku. The clever man, dulu dia
sering memanggilku dengan sebutan itu.
“Aku baik.
Selalu sebaik yang dipikirkan dan diinginkan…”
Suasana
kemudian hening sesaat, setelah aku menjawab pertanyaannya.
“Ada perlu
apa sebenarnya kamu memintaku bertemu di tempat ini lagi? Tempat yang dulu
menjadi favorit kita. Terakhir kali kita ke tempat ini, dua tahun yang lalu,
bukan? Ah iya, kalau tidak salah, di kafe ini juga kita bertemu terakhir kali
sebelum kamu menghilang selama dua tahun ini. benar kan?” aku akhirnya
mengajukan pertanyaan ini padanya, sambil berharap, semoga bahasan ini mampu
memecah keheningan yang terjadi sejak pramusaji tadi pergi meninggalkan kami.
Dan aku berdoa, semoga rentetan pertanyaan tadi tidak merusak suasana.
Dia
tersenyum, senyum yang sangat kukenali. Dan hatiku masih berdesir ternyata. Dia
bilang, “bukannya kamu yang paling bawel mengajariku tentang silaturahim,
bukan? Bahwa memutus tali persahabatan dan persaudaraan adalah dosa yang tak
termaafkan. Benar begitu, kan?”
Aku
mengangguk takzim dengan apa yang baru saja dia katakan. “selain itu, adakah
alasan lain? Kangen denganku misalnya” aku meledeknya dengan mengatakan itu.
“Ya..Ya..ya,
kamu tidak berubah, masih ge’er seperti dulu. Jangan-jangan sifat gombal kamu
juga belum berubah ya gombalers kelas wahid?” jawabnya sambil menepuk bahuku.
Aku tertawa
lepas. Baiklah, sekarang sudah benar-benar mencair suasananya. Aku tertawa
sambil meledek, hingga dia cemberut. Dan kau tahu, kawan? Cemberut saja dia
masih secantik dulu.
“sudahlah,
hentikan tawa jahatmu itu. Oh iya, aku membaca novel terbarumu,” ujarnya. Masih
sambil mengaduk cangkir yang menurutku gulanya sudah larut sejak tadi.
“Lalu?”
“Lalu aku
menemukan tokoh yang kurasa sangat mirip denganku. Bukan bermaksud Ge’er,
tetapi dari cerewetnya, kekonyolannya, hidung mancungnya, suara cemprengnya,
semuanya. Aku rasa aku sangat mengenalinya. Tokoh bernama Mei terutama.”
Sambil
mendengarnya berceloteh, kuminum cappucinoku pelan. Dan hampir saja aku
tersedak saat dia mengatakan sangat mengenali tokoh bernama Mei. Seharusnya aku
menuruti kata hatiku dulu untuk tak membuat tokoh semirip itu. Aku pikir dia
tidak akan mengenalinya dan tidak akan menyadarinya. Karena yang kutahu, dia
tidak pernah suka fiksi baik itu cerpen atau novel. Tetapi memang aku selalu
mengiriminya novel tulisanku. Walaupun dia tidak menyukai novel, tetapi dia
selalu memaksaku untuk dikirimi novel buatanku. Untuk dipamerkan katanya. Dan
kupikir, dia tidak akan membacanya. Hanya sekadar memamerkan kepada
teman-temannya kalau dia memiliki sahabat seorang penulis. Ternyata aku salah.
Dia
melirikku sebentar dan menangkap ekspresi kekagetanku, lalu melanjutkan
kalimatnya lagi, “Jika kamu mengira aku tidak membaca bukumu, kamu salah. Aku
juga membaca tulisan sahabatku dan tidak hanya memamerkannya. Setidak sukanya
aku dengan fiksi, tapi kalu tulisan kamu, aku membacanya.” Astaga, dia seperti
bisa membaca pikiranku. Tolonglah! Jangan sembarangan membaca pikiranku.
“kamu pintar
sekali menceritakan tokoh Mei. Aku menangkap pelaku utama dalam cerita itu
sangat mencintai Mei. Selalu bahagia ketika berada di samping Mei. Bahkan
bersama Mei adalah sebuah memorable moment. Momen yang tak terlupakan. Aku
kemudian berpikir, menyenangkan sekali menjadi seorang Mei, dicintai
sebegitunya oleh seseorang. Dan kamu tahu? Seandainya aku jadi Mei, aku tidak
akan menyia-nyiakan seseorang yang mencintaiku seperti itu. Setelah itu aku
berpikir lagi, bukankah Mei sangat mirip dengan karakterku. Cerewetnya,
jahilnya, caranya tertawa, semuanya. Dan celakanya, aku sangat mengenal pelaku
utamanya, itu kamu sendiri, kan? Aku akhirnya menyimpulkan bahwa yang kamu
tuliskan adalah tentang kita. Tentang perasaan cinta yang tidak pernah kamu
sampaikan. Tentang kepergianku yang menurutmu tiba-tiba. Iya, kan?”
Aku sempurna
mematung. Sedangkan tatapan matanya seolah mengintimidasiku untuk segera
menjawab pertanyaannya yang begitu menusuk. Apa yang harus kukatakan? Mengakui
semuanya? Membantahnya walau memang seperti itulah kenyataannya? Aku
kalah-sekalahnya dengan serangan yang ia lancarkan.
“Jawab, Yan.
Jangan diam saja,” dia kembali mendesakku untuk segera menjawab.
“Baiklah,
Maya. Iya, yang kamu bilang itu semuanya benar. Tidak sebagian, tidak
separuhnya, tapi seluruhnya benar. Aa…aku… aku memang menuliskan cerita
tentangmu. Tentang kita”
“Tapi
kenapa?” ia berkata setengah membentak.
“kenapa
apanya?”
“kenapa kamu
tidak pernah mengatakannya? Kenapa menyembunyikan perasaanmu? Pintar sekali
kamu menutupinya sehingga aku tidak pernah benar-benar menyadarinya. Kupikir,
setiap gombalanmu, semua cuma bercanda. Kamu memang seperti itu, kan? Kamu
selalu bersembunyi di balik sikap gombalmu. Pernah suatu kali aku menduga,
menerka-nerka apakah kamu mencintaiku. Tetapi aku tak pernah bisa menemukan
jawabnnya karena sikap kamu yang sulit ditebak itu. Kadang kamu sangat
perhatian, kadang menyebalkan, kadang juga kekanak-kanakan, kadang cuek
setengah mati, kadang menghilang, kadang
berlaku seperti seorang pahlawan. Dari sikapmu yang seperti itu, apa yang bisa
aku simpulkan? Hingga akhirnya semua menjadi jelas ketika aku membaca semua
tulisanmu. Tentang setiap detail perasaanmu. Tentang kerinduanmu padaku.
Tentang semuanya. Semua menjadi jelas sekarang.” Dia menunggu kalimat
berikutnya yang akan kusampaikan, sambil sesekali meneguk hot chocolatenya yang
tentu saja sudah dingin dari tadi. Barangkali sama dinginnya dengan perasaanku
saat ini.
“Apakah aku
terlambat mengakuinya, May? Kamu sudah tahu sekarang. Maka adakah kesempatan
kedua untukku? Kupikir kita bisa melanjutkannya lagi seperti dulu, bahkan lebih
baik lagi.”
“Melanjutkan
katamu? Memangnya kita sudah pernah memulainya? Kita tidak pernah benar-benar
memulainya, Yan. Kamu tidak pernah mengatakannya, dan aku tidak mungkin
mengakuinya lebih dulu. Kamu tahu? Aku menunggu di setiap momen kebersamaan
kita, aku berharap disela-sela percakapan kita kamu mengutarakan perasaanmu
padaku. Tapi itu tidak pernah terjadi. Aku masih menunggu saat itu, sampai
orangtuaku memintaku untuk pulang menemuinya. Aku menemui orangtuaku, dan kata
mereka aku akan dijodohkan dengan seorang lelaki, anak dari sahabat ayahku….”
Dia tiba-tiba meneteskan air mata. Dulu ketika dia menangis, aku segera
mengusap pipinya, menyeka air matanya dan menenangkannya. Tapi itu dulu, dulu
sekali. Dia kemudian menyeka sendiri air matanya dan kembali melanjutkan
kalimat yang terputus, “aku benar-benar bingung waktu itu. Apakah aku harus
menerima perjodohan itu atau menolaknya? Jika harus menolak, apa alasan logis
untuk menolaknya? Karena kamu? Perasaan kamu saja aku tidak mengetahuinya. Aku
tidak mungkin mengatakan kepada kedua orangtuaku bahwa ada laki-laki lain yang
mencintaiku dan aku mencintainya. Bagaimana jika kamu ternyata tidak
mencintaiku.? Lalu aku memutuskan menjauh darimu. Menghilang untuk mencari
jalan keluar mana yang harus kutempuh, sambil berharap semoga besok lusa kamu
mencariku, memperjuangkanku dan mengatakan mencintaiku, yang sayangnya, itu
tidak pernah terjadi. Lamaran sudah berkali-kali disiapkan, berkali-kali juga
aku meminta untuk ditunda. Berharap kamu yang datang untuk melakukannya, tetapi
lagi-lagi tidak pernah terjadi. Hingga akhirnya, tiga bulan lalu dia
benar-benar datang melamar bersama serombongan keluarganya. Tidak ada masalah
berarti untuk kemudian lamarannya diterima.”
Astaga!
Kenapa aku baru mengetahui fakta semacam
ini? kenapa dia tidak mengatakan terang-terangan bahwa sebenarnya dia
menungguku, kenapa? Ingin rasanya aku memarahinya karena dia baru menyampaikan
hal maha penting ini sekarang. Tetapi aku urungkan. Semua kesalahanku. Kalau saja aku lebih berani
sebagai seorang laki-laki. Kalau saja aku tidak malu-malu mengatakan
mencintainya waktu itu. Kini semua sudah terlambat, benar-benar terlambat.
“Ah iya,
tentang novelmu, cerita tentang kita yang kamu tuliskan, itu tidak akan
mengubah apa pun. Aku akan tetap menikah dengannya. Entah apakah aku akan
mencintainya dengan cara yang sama seperti aku mencintaimu dulu atau dengan
pemahaman cinta yang baru. Karena aku memang harus secepatnya memperbarui hati
seberapa pun berantakannya. Segera! Kamu juga. Jika boleh aku meminta satu hal
darimu, berhentilah menulis cerita tentang ku, Yan. Aku tidak bisa tidak
menangis jika membaca tulisanmu, apalagi kalau itu tentang kita. Aku juga ingin
kamu melupakan aku, tetapi tidak untuk melupakan sebagai sahabat, kita harus
selalu menjadi teman yang baik. Pesanku, kamu juga harus memperbarui hatimu
untuk orang lain yang akan mencintaimu lebih dari aku. kamu harus menemui hati
yang baru dengan pemahaman cinta yang baru. Ada seseorang yang hanya boleh
hidup di hati kita saja, tetapi tidak untuk di kehidupan nyata kita. Biarlah
tetap begitu. Besok lusa kamu akan menemukan yang terbaik untukmu. Dan dalam
kondisi seperti ini, kita harus belajar dua hal dalam satu waktu, belajar
mencintai dan melupakan sekaligus. Meski aku sendiri tidak yakin, apakah aku
bisa melakukannya.”
Kalian pasti
berpikir, bahwa aku masih bisa membatalkan pernikahannya, kan? Toh, aku masih
punya waktu satu minggu untuk menggagalkan pernikahannya. Lagipula, aku
mencintainya dan dia mencintaiku. Apa lagi masalahnya? Kalian juga pasti akan
menganggapku pahlawan karena berhasil menjemput gadis yang dicintainya di
detik-detik terakhir pernikahannya dengan orang lain. Akui sajalah. Kita sering
menganggap hal-hal seperti itu adalah tindakan pahlawan, padahal sebenarnya
justru itu tindakan pengecut. Itulah sebabnya, tak sedikit pun aku berpikir
untuk memperjuangkannya di detik-detik terakhir pernikahannya.
“Aku berdoa
semoga kamu bahagia bersama laki-laki pilihanmu, ah, maksudku pilihan
orangtuamu atau siapalah yang memberi
andil atas keputusanmu. Aku akan menuruti semua permintaanmu, tentu saja.
Tetapi kalau boleh, pertemuan kita sore ini aku ingin menuliskannya. Aku ingin
menuliskan cerita tentang kita ini sekali lagi, dan ini yang terakhir. Boleh,
kan.?” Pintaku penuh harap.
“Baiklah,
terserah kamu saja. Ah aku lupa satu hal, ini undangan pernikahanku. Pastikan
kamu datang ya! Jangan terlambat dan jangan juga datang terlalu cepat.”
Wajahnya yang sejak tadi murung perlahan mulai tersenyum lagi, walau sedikit
dipaksakan.
Aku lalu
menerima undangan yang ia sodorkan, membaca dengan hati-hati setiap huruf yang
tertuliskan. Mengeja satu demi satu huruf di sana dan memastikan, apakah benar
undangan itu tertulis namanya untuk mempelai perempuan dan bukan namaku untuk
mempelai laki-lakinya. Dan tentu saja memang begitu. “Aku pastikan aku akan
datang, May. Memberikan restu terbaik untukmu.” Jawabku mantap.
Dia
tersenyum penuh penghargaan setelah mendengar jawabanku, dan berujar, “terima
kasih, Yan. Kamu selalu baik. Oh ya, aku rasa aku harus pergi sekarang. Kita
sudah terlalu lama di sini, bukan? Terima kasih karena telah bersedia datang.
Kupikir setelah dua tahun tidak bertemu, kamu tidak mau menemuiku lagi. Tapi
ternyata kamu datang, dan masih menyenangkan seperti dulu.” Dia lalu berdiri,
menyodorkan tangannya untuk segera aku sambut. Kami bersalaman, tidak seberapa
lama tetapi memberikan kesan yang sangat mendalam.
“Sampai
jumpa, The clever man. Sampai bertemu lagi di acara pernikahanku.”
“Sampai
jumpa, May. Semoga bahagia selalu.” Dia lalu melangkah meninggalkanku, dan aku
memperhatikan langkahnya yang mulai menjauh. Mengamati punggungnya yang
perlahan menghilang dan akhirnya lenyap dari pandangan. Selamat menempuh hidup
baru, Mei.
Apakah
hatiku remuk redam? Tentu saja. Apakah aku bisa mengikhlaskannya pergi? Jika
tidak sekarang, setidaknya nanti pasti. Haruskah aku menyesali kebodohanku
seumur hidup karena telah melewatkan kesempatan bersamanya? Iya. Tetapi tidak
untuk seumur hidup, karena hidup terlampau singkat untuk dilewatkan hanya untuk
menyesali yang sudah terjadi. Aku percaya besok atau nanti, waktu selalu bisa
menyembuhkan luka ini sepanjang kita mau berdamai dengan masa lalu. Maka besok
lusa, akan datang harapan baru, orang baru, dan hati yang baru.
Aku akan
datang Mei...
####
(Cerita ini ada dalam buku saya, Cerah dalam Cinta. Bagi yang ingin memilikinya bisa menghubungi saya dengan membuka link ini http://abdurahman-el-farizy.blogspot.co.id/2015/03/cerah-dalam-cinta.html )
0 Response to "Tentang Mei, Aku, dan Belajar Melepaskan"
Posting Komentar