Resensi : Negeri 5 menara
2/19/2012 11:47:00 PM
Kamu dan secangkir kopi sastra
, Posted in
Resensi
,
0 Comments
Santri pedalaman menembus Trafalgar
Judul Buku : Negeri 5 Menara
Penulis : A. Fuadi
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan : V, Februari 2010
Tebal : iii + 422 halaman
Penulis : A. Fuadi
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan : V, Februari 2010
Tebal : iii + 422 halaman
Tidaklah sulit mengenali sebuah novel berkualitas. Sebuah logo pada sampul depan bertuliskan BEST SELLER dan berbagai opini positif dari para tokoh terkenal yang mencerminkan ketakjuban pada novel tersebut adalah bukti sahih kualitas novel Negeri 5 Menara. Novel besutan A. fuadi ini berkisah tentang tokoh sentral bernama Alif Fikri, anak maninjau yang harus rela melanjutkan sekolahnya disebuah pondok pesantren nun jauh di pedalaman ponorogo jawa timur, pondok Madani (PM).
Tak pernah terpikir dalam benak Alif sebelumnya untuk melanjutkan sekolah ke sebuah pondok pesantren, apalagi ke sebuah pondok yang jauh dari kampung halamannya. Mulanya alif terobsesi menjadi insinyur atau tokoh jenius seperti Habibie, maka itulah alif ingin melanjutkan sekolah ke SMA terbaik di Bukittinggi lalu kemudian kuliah di ITB seperti yang dilakukan tokoh idolanya, Habibie. Namun Alif harus mengubur dalam-dalam mimpinya ketika Ibunda Alif dengan tegas meminta Alif melanjutkan sekolah ke Madrasah Aliyah. Ibunda Alif menginginkan anaknya kelak menjadi seorang pemimpin agama yang hebat dan pengetahuan yang luas layaknya Buya Hamka, seorang ulama besar yang lahir dan besar tak jauh dari tanah kelahiran Alif. Setelah melewati perdebatan hebat dengan ibundanya, akhirnya Alif membuat keputusan setengah hati, menjadi santri Pondok Madani (PM).
Di PM-lah Alif bertemu dengan sahabat-sahabatnya yang kemudian persahabatan mereka dikenal dengan nama Sahibul Menara (orang yang punya menara) gelar ini disematkan lantaran mereka sering berkumpul dan berkisah tentang mimpi-mimpi mereka di kaki menara masjid PM. Sahibul menara terdiri dari Alif (padang), Raja (medan), Said (Surabaya) Atang (Bandung), Dulmajid (Sumenep), dan Baso (Gowa). Enam sahabat yang memiliki kemauan keras dan mimpi-mimpi luar biasa besar. Dalam perjalanan meraih mimpi tersebut mereka tak pernah lepas dari mantra sakti yang diajarkan Kiai Rais sang pimpinan pondok; Man Jadda Wajada (siapa bersungguh-sungguh, akan berhasil)
Di hari pertama menjadi santri PM, para Sahibul menara dan santri lainnya langsung diperkenalkan dengan belasan butir pasal qanun (aturan pondok) yang tidak tertulis namun memiliki konsekuensi hukum yang tegas jika dilanggar, konsekuensi bagi para pelanggar sekurang-kurangnya mendapat jeweran berantai hingga digunduli bahkan dipulangkan jika melakukan pelanggaran berat. Sayangnya, baru dua hari menjadi santri PM, sahibul menara langsung terjerat kasus pelanggaran, yakni terlambat 5 menit untuk kembali ke asrama setelah membeli perlengkapan di koperasi. PM tidak pernah berkompromi dalam masalah kedisiplinan, termasuk disiplin waktu. Oleh karena itulah, meski hanya terlambat 5 menit, mereka berhak mendapat hukuman jeweran berantai dan menjadi jasus (mata-mata) yang bertugas mencatat dan melaporkan kesalahan santri lainnya pada pihak keamanan pusat.
Rangkaian kisah menarik dan heroik tak habis-habisnya mewarnai perjalanan Alif dan kawan-kawan selama mengenyam pendidikan di PM. Bayangkan saja, hanya dalam waktu 4 bulan mereka diharuskan menguasai dua bahasa, arab dan inggris. Hal ini tentu saja menghadirkan kegamangan bagi Alif dan kawan-kawan untuk bisa melakukannya. Tetapi sekali lagi, dengan mantra Man Jadda wajada dan sistem belajar yang spartan mereka berhasil melakukannya. Tidak sampai disitu, PM menerapkan system belajar sejak pukul 4.30 hingga 9.30 malam disertai dengan kegiatan Muhadharah (pidato) berbahasa arab dan inggris, pramuka, bulis lail (ronda malam) serta berbagai aktivitas lainnya. Sehingga tidak ada waktu untuk berleha-leha. Semua berpacu mengunduh ilmu sebanyak-banyaknya. Hebatnya bagi para santri PM, belajar adalah candu yang membuat mereka gila ilmu. Apalagi ketika datang ujian, mereka menyambutnya layaknya menyambut festival akbar. Suasana belajar seperti inilah yang membuat para sahibul menara memiliki semangat menggelegak untuk meraih mimpi setinggi-tingginya. Tengoklah semangat Baso yang bertekad menghapal Al-Quran 30 juz agar bisa kuliah di madinah, lalu Raja yang ingin menjadi ulama intelek, Atang dan Baso yang ingin menjelajah asia dan Afrika dan Alif yang ingin menginjakkan kaki di benua Amerika, serta tak ketinggalan Said dan Dulmajid yang juga punya mimpi mulia, meningkatkan mutu pendidikan di tempat tinggalnya. Dapatkah mereka menjinakkan mimpi-mimpinya?
Dalam penggarapannya, A.Fuadi,”sang penulis”, begitu piawai mendeskripsikan ruang dan memetakan seluk-beluk dunia pesantren secara mendetail sehingga terbangunlah imajinasi yang sempurna namun tetap rasional dan terkesan riil. Memang tak dapat dipungkiri bahwa kisah yang tersaji dalam novel negeri 5 menara adalah pengalaman empiris sang penulis ketika mengenyam pendidikan di pondok pesantren Gontor. Namun kisah tersebut dipadukan dengan imajinasi yang halus sehingga terciptalah sebuah cerita fiksi yang memikat.
Tak ketinggalan A. Fuadi juga menyelipkan humor khas pesantren yang semakin memperkaya khazanah novel ini. Meski tidak terlalu banyak memuat estetika sastrawi, tetap saja novel ini menjadi novel dengan mutu tinggi. Novel setebal 422 halaman ini juga mengajak pembaca untuk menghapus stigma buruk tentang pendidikan pondok pesantren yang selama ini dianggap bengkel bagi orang-orang yang rusak moralnya serta tempat berkumpunya anak-anak yang terbuang karena tidak diterima di sekolah umum. A. Fuadi telah membuktikan bahwa pesantren adalah institusi pendididikan bermutu yang dapat mencetak generasi emas. Bahkan banyak lulusan pesantren yang mampu taklukkan dunia.
Dengan ending cerita berupa reuni bersejarah di Trafalgar square dalam rangka menghadiri konferensi di London, para Sahibul menara membuktikan bahwa para santri pedalaman ternyata mampu menjangkau dunia dalam genggaman. Betapa pun besarnya impian, dia wajib dibela habis-habisan dengan ikhtiar tiada henti, sabar yang berlebih serta kerja keras dan doa. Akhirnya mereka dapat menggenggam mimpi masing-masing dengan spirit “Man Jadda Wajada, siapa bersungguh-sungguh akan berhasil”
*Abdurahman el-Farizy*
0 Response to "Resensi : Negeri 5 menara"
Posting Komentar