5/06/2016 10:36:00 PM
Kamu dan secangkir kopi sastra
, Posted in
cinta
,
fiksi
,
masterpiece
,
0 Comments
Aku suka menghabiskan banyak waktu untuk membaca buku. Buku apa saja, entah novel yang sering kamu hadiahkan untukku. Atau buku politik, hukum, sastra yang merupakan koleksi pribadiku. Lalu kita sibuk dengan buku kita masing-masing, meskipun aku berada di sampingmu, kita tidak saling bicara. Diam. Tapi bagiku itu menyenangkan. Selesai membaca, barulah kita akan saling menceritakan hasil bacaan kita masing-masing. Dan aku selalu meledekmu dengan mengatakan, “selera bacaanmu buruk”. Kemudian kamu menimpalinya dengan, “biarin. Kamu tuh bacaannya berat banget, terlalu filosofis, njelimet dan bikin pusing. Ayolah… baca yang ringan-ringan dikit, kek” . tatapan tajam dan muka cemberutmu ketika mengatakan itu hanya bisa kutimpali dengan gelak tawa. Iya, aku tahu kamu bercanda mengatakannya, toh, buku-buku yang katamu bacaan berat itu, adalah pemberianmu juga, kan?. Aku suka menghabiskan waktu dengan membaca buku, tapi tanpamu, rasanya mungkin tak akan lagi sama.
Aku suka mengunjungi tempat-tempat ramai di tengah kota. Entah itu taman, kafe, bioskop, atau apa saja sampai pulang larut malam. Tapi siapa pun yang kemudian menemaniku ke tempat itu, rasanya mungkin tidak lagi senyaman saat aku mengunjunginya bersamamu.
Aku juga senang menatap layar handphone-ku, menemukan notifikasi dengan tulisan namamu ketika ada pesan Whatsapp, BBM, atau Line yang masuk, termasuk juga ketika mendengar dering telepon, dan itu datangnya darimu. Tapi tidak akan semenyenangkan itu lagi, karena setiap kali aku membukanya, menatap layar handphone berkali-kali, dan itu bukan namamu lagi.
Aku ingin kamu tinggal, tentu saja. Aku tidak ingin kita berpisah, itu benar. Tapi jika kamu memutuskan ingin pergi lantas aku bisa apa? Katamu hubungan ini sudah tidak bisa dipertahankan lagi. Bukankah kamu sendiri yang tidak mau berusaha bertahan? Dan saat aku berusaha untuk masalah ini agar dibicarakan dulu, kemudian berusaha mencari jalan keluar, katamu, “sudah tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan”. Kamu tidak pernah mencari tahu apa yang seharusnya kita bicarakan, lalu dengan mudah mengatakan tak ada lagi yang perlu dibicarakan.