Maafkan Aku yang Dulu, Nay!
‘Di balik Pria sukses selalu ada wanita hebat di belakangnya’, kalimat itu benar sekali, Nay. Lihatlah, meski belum benar-benar menjadi sukses, setidaknya aku mengerti dan benar-benar memahami sekarang bahwa quote itu bukan omong kosong belaka.
Kamu adalah orang yang paling cerewet di masa-masa kuliah dulu. Aku ingat, kamu berseru sebal setiap kali aku mengabaikan tugas akhirku. Kamu adalah orang yang paling sering mengingatkan setiap hari, mengomeliku kalau aku malas menemui dosen pembimbing, atau bosan berkutat dengan laptop, buku-buku dan penelitian. Katamu, “mau kapan selesainya coba, kalau kamu malasan-malasan begini ngerjain skripsinya, hah?”. Aku mengerti, Nay, kalau omelanmu itu akan berefek baik bagi kecepatan mengerjakan skripsiku. Dan ajaib, Nay, aku bisa menyelesaikan tugas akhirku yang menyebalkan itu seperti yang kamu harapkan. Sudah skripsinya menyebalkan, caramu menyemangatiku juga menyebalkan. Namun oleh sebab itu aku bisa lebih giat akhirnya.
Setelah aku lulus, apakah kamu berhenti menghardikku?, ah maksudku, berhenti mengomeliku? Tidak. Aku tahu bahwa tugasku sebagai laki-laki belum selesai. Kehormatan bagi laki-laki yang baru lulus tentu saja mendapatkan pekerjaan sesegera mungkin. Aku ingat, entah serius atau bercanda kamu pernah berujar, “bagaimana bisa menikahiku kalau kamu masih pengangguran? Menikah itu mahal, Bang, ada listrik yang harus dibayar, ada susu dan popok yang harus dibeli, dan tentu saja, keperluan kosmetikku menjadi tanggungjawabmu”. Dan aku mendengus sebal demi menerima kalimat darimu. Tetapi kamu benar, Nay, untuk membangun keluarga, aku harus bekerja lebih keras agar besok lusa kita bukan saja hanya memiliki keluarga sakinah, tetapi juga bermartabat.
Kamu tetap memilih bersamaku, tetapi kamu tetap mengeluhkan banyak hal. Well, maafkan aku jika tidak selalu bisa memenuhi semua tuntutanmu kepadaku waktu itu. Aku hanya lelaki biasa, Nay. Tetapi jangan lupa, aku selalu belajar dengan cepat. Kamu menginginkanku menjadi laki-laki mapan, bukan? Mengharapkanku menjadi laki-laki dewasa yang berpikiran matang, tidak kekanak-kanakan dan keras kepala? Keinginanmu kepadaku selalu hal-hal yang baik. Kabar buruknya, kamu tidak benar-benar membiarkanku leluasa mewujudkan itu. Kamu melakukan hal-hal kontradiktif, menginginkan aku mapan tetapi membenci pekerjaanku. Mengharapkan aku tidak keras kepala dengan tindakanmu yang jauh lebih keras kepala.
Wanita yang baik selalu menyemangati dengan dukungan, sedangkan bagi yang tidak, menyemangati dengan tuntutan. Ketidak beruntunganmu adalah kamu memilih laki-laki yang masa depannya tidak jelas, keras kepala dan susah diatur. Jadi kamu bisa memutuskan pergi. Untuk apa berlama-lama bersama laki-laki jenis ini?
Lihatlah sekarang, Nay. Aku tumbuh lebih baik saat ini. Pekerjaanku juga tidak buruk-buruk amat. Kamu selalu tidak suka profesiku sebagai penulis bukan? Kabar baiknya, justru dari profesi yang kamu tidak suka itu aku mendapat pengakuan dari banyak pihak yang mendudukkanku ke posisi terhormat. Kamu juga tidak suka kalau aku gemar bicara politik. Astaga, Nay, kamu keliru. Justru karena kegemaranku bicara politik, bahkan lawan bicaraku sekarang adalah salah politisi elite negeri ini yang dulu seringkali kita saksikan di TV. Ruang rapat Parlemen yang terhormat, bukan lagi tempat asing bagiku, di situlah aku sering berdiskusi satu-dua topik hangat. kamu pernah nyinyir bilang bahwa orang sepertiku paling banter hanya bisa ngoceh tentang politik di warung kopi, bukan? Kamu keliru, Nay. Aku kini bicara tentang topik yang kamu benci itu di ruangan terhormat. Dan dengan segala hormat, aku bukannya mau pamer, Nay. Aku hanya ingin mengatakan bahwa selepas kamu akhirnya menyerah untuk tetap bersamaku, aku memosisikan diriku menjadi lebih baik dan lebih baik lagi. Justru aku ingin berterimakasih kepadamu, Nay, kalau bukan karenamu, mungkin aku masih begitu-begitu saja. Kadang hal-hal menyakitkan atau perlakuan yang menyakitkan justru bisa membuat kita semakin terpacu untuk membuktikan sebuah omong kosong menjadi kenyataan yang menakjubkan. Aku hanya ingin membuktikan omong kosongku dulu, kamu masih ingat aku pernah mengatakan, “bersabarlah, Nay. Aku akan menjadi laki-laki terbaik untukmu. Aku akan mewujudkan mimpi-mimpi kita, harapan kita. Maka tetaplah di sampingku, menghebatlah bersamaku”. Sayangnya, kamu sudah jengah dan enggan untuk bertahan. Aku menghormati keputusanmu waktu itu, untuk wanita secemerlang dirimu, berlama-lama dengan laki-laki yang sepertinya tidak bermasa depan dan keras kepala adalah sebuah kesalahan besar.
Apakah dengan posisiku sekarang, setelah aku mewujudkan mimpiku satu demi satu, pernahkah terpikir olehmu untuk kembali, Nay? Atau kalau aku boleh melontarkan pertanyaan nakal, apakah kamu menyesal telah memutuskan pergi?
Kamu tidak perlu menjawabnya, Nay. Karena sebelum kamu menjawabnya aku ingin menyampaikan satu berita. Ah iya, hampir saja aku lupa menyampaikan berita ini, aku baru saja melamar seorang gadis seminggu yang lalu. Aku sudah mantap menjatuhkan pilihan kepadanya. Gadis itu masih sama perannya sepertimu dulu, menyemangatiku dalam berbagai hal. Bahkan sesekali pernah juga mengomeliku kalau aku membandel dan melakukan hal-hal bodoh. Bedanya, kami menghebat bersama, tumbuh bersama, saling menguatkan satu sama lain. Dan kunci yang terpenting dari semuanya adalah kesabaran. Itu yang tidak kamu punya.
0 Response to "Maafkan Aku yang Dulu, Nay!"
Posting Komentar