Seharusnya kita Bahagia Sekarang
6/30/2015 05:19:00 AM
Kamu dan secangkir kopi sastra
,
0 Comments
Seharusnya
kita sedang bahagia sekarang, menjalani kehidupan yang menyenangkan karena
telah dibersamakan..
Seharusnya,
aku yang menemanimu sekarang. Melewatkan momen-momen apa saja, membicarakan apa
saja sampai larut malam. Sampai salah satu dari kita dihajar rasa kantuk yang
membuat mata terpejam, lalu terbangun ketika sudah pagi. Dan wajahmu, adalah
wajah yang kulihat pertama kali saat aku terbangun.
Seharusnya, kamu yang setiap pagi menyiapkan sarapan untukku. Tidak perlu yang terlalu mewah, cukup nasi goreng telur dadar. Asalkan kamu yang membuatkannya, aku akan lahap menghabiskannya.
Seharusnya,
senyummu adalah senyum satu-satunya yang akan membuatku selalu berdebar. Ketika
sibuk bekerja, ketika sibuk melakukan apa saja, kemudian teringat senyummu mengunjungi kepala. Membuatku selalu
cepat-cepat ingin pulang.
Seharusnya,
kamu adalah satu-satunya yang kuajak bicara tentang berapa anak kita nantinya.
Tentang seperti apa bentuk rumah kita. Seperti apa konsep pernikahan kita. Dan
apa saja yang ingin kita capai berdua di masa tua. Seharusnya.
Seharusnya
kita menjadi pasangan yang berbahagia di dunia, atau aku yang paling berbahagia
di antara kita berdua. Seharusnya.
Tetapi kata
‘seharusnya’ memang tidak akan pernah menjadi sebagaimana mestinya. Ya, aku tahu itu.
Pada akhirnya semua hanya akan menjadi kemungkinan-kemungkinan yang tidak akan
pernah menjadi kenyataan.
Kamu sudah
pergi sekarang. Celakanya, kepergianmu itu bersama seseorang yang kemudian
menikahimu beberapa bulan lalu. Itu yang membuat kata ‘seharusnya’ tidak pernah
menjadi ‘harus'. kata harus yang seharusnya terwujudkan.
Bukan, bukan
kamu yang salah. Aku saja yang bodoh karena tidak pernah mengatakannya. Tetapi
kemudian aku menyesalinya sekarang kenapa tidak pernah berani mengatakannya.
Iya, aku baru tahu ternyata kamu pernah
memiliki perasaan yang sama kepadaku. Aku tahu semuanya dari teman kita. Dia
memberitahuku semuanya. Kamu pernah bercerita padanya bukan? Dia bilang, kamu
selalu memperhatikanku di sosial media, mengamati setiap kali aku menulis PM di
Blackberry Mesanger, atau di Facebook dan juga Path. Lalu kamu berkata, “semoga
yang dia tulis itu untukku, tentangku.” Begitu harapmu setiap kali membaca
tulisanku, tetapi kemudian kamu ragu lagi dengan mengatakan, “ah sepertinya itu
memang bukan untukku”. Hey, seandainya saja kamu tahu, semua itu memang tentang kamu, bukan tentang siapa-siapa. Seharusnya
kamu yakin dengan intuisimu bahwa itu memang kutuliskan untuk kamu, hanya kamu.
Dia juga
bilang padaku, kamu tahu semua kebiasaanku, makanan kesukaanku, keanehanku,
sampai tempat-tempat yang paling suka aku kunjungi. Aku baru tahu itu, ternyata
kamu memperhatikanku sedetail itu. Sudah sangat terlambat bagiku menyadari
semuanya, sampai kemudian kamu lelah memperhatikanku dan memutuskan pergi
bersama seseorang yang juga mencintaimu. Bedanya, seseorang itu mengatakan
mencintaimu dan memintamu secara terang-terangan. Itu yang tidak aku lakukan.
Memang benar
apa yang dikatakan orang, hanya karena dua orang pada akhirnya tidak bersama,
belum tentu keduanya tidak saling jatuh cinta. Kita pernah sama-sama jatuh
cinta, tetapi aku memilih tidak mengatakannya. Kupikir, jika aku mengatakannya
dan kamu ternyata tidak memiliki perasaan yang sama, lantas kamu akan berubah
membenciku dan menjauhiku. Maka jika itu yang terjadi, tentu aku akan menyesalinya.
Ternyata, tidak mengatakannya justru
membuatku jauh lebih menyesalinya.
Tetapi
bahagia selalu datang tepat waktu bukan? Jika pada akhirnya kita memang tidak
ditakdirkan untuk bersama, mungkin itu cara Tuhan menunjukkan bahagia yang
lain. Karena bahagia itu bukan satu orang. Bukan satu jalan. Ada banyak orang
dan banyak jalan. Dan kita pada akhirnya harus menemukan bahagia kita
sendiri-sendiri dengan orang lain. Kita masih bisa berbahagia meski tidak
menjadi yang paling bahagia.
Poris gaga,
30 Juni 2015/13 Ramadhan 1436 H
00.50 WIB
0 Response to "Seharusnya kita Bahagia Sekarang"
Posting Komentar