Dalam sebuah pesta pernikahan, selalu saja ada yang terluka diam-diam
5/27/2014 11:28:00 PM
Kamu dan secangkir kopi sastra
, Posted in
cinta
,
0 Comments
Sebenarnya
sudah lama sekali aku ingin bercerita kisah ini padamu, kawan. Namun entahlah,
kenapa baru hari ini aku benar-benar bercerita. Yang menjadi muasal cerita
adalah kisah tentang fajar dan Rembulan, muda-mudi yang mengalami
persekongkolan semesta sehingga mereka saling mencintai yang entah di kemudian
hari akan berakhir seperti apa.
***
Dalam satu
dimensi ruang dan waktu, di sebuah gedung megah tiga tahun silam. Jakarta dengan segala hiruk-pikuk, dengan
segala cita-cita yang menggantung di langit kota, juga dengan segala keriuhan
yang meramaikan seisi kota. Dan di antara hiruk-pikuk itu, di antara jutaan
cita-cita yang menggantung, serta di antara segala keriuhan itu, seorang pemuda
berdiri di depan sebuah gedung megah yang terletak di tengah kota Jakarta.
Berdiri dengan cemas, takut bercampur malu, berkeringat tangan di jemari.
Aduhai, gadis itulah penyebabnya. Gadis itulah yang menjadi sumber kecemasan
pemuda itu sekaligus menjadi muasal semua cerita.
***
Di hadapan
Fajar, seratus meter dari posisi Ia berdiri, terlihat seorang gadis yang begitu
jelita dengan bola mata menawan yang juga menatap ke arahnya. Hari itu
benar-benar hari yang beruntung sekaligus nelangsa bagi Fajar setelah edaran pandangannya berhenti di satu titik dan diam di situ dalam
waktu yang lama. Titik itu tentu saja seorang gadis bernama Rembulan. Fajar
untuk kali pertama menemukan sosok jelita itu di antara ratusan peserta seminar
‘berburu meraih beasiswa luar negeri’. Seminar megah ini menyedot begitu banyak
peserta yang berdatangan dari berbagai daerah di Indonesia dan berbagai
Universitas dengan tujuan yang sama, apalagi kalau bukan untuk membekali diri dan mengintip peluang untuk
kuliah di luar negeri. Maka dari sekian ratus peserta yang datang, mari
fokuskan pembicaraan kita pada dua sejoli yang menjadi tokoh utama pada cerita
ini, dialah Fajar, Mahasiswa UIN Jakarta yang menetap di Tangerang dan Rembulan,
mahasiswi Universitas Andalas yang jauh-jauh datang dari Bukittingi hanya untuk
menghadiri seminar ini.
Dari peristiwa inilah semua cerita dimulai. Pertemuan itu menjadi peristiwa beruntung sekaligus nelangsa. (mengapa beruntung sekaligus nelangsa, nanti kujelaskan)
Dari peristiwa inilah semua cerita dimulai. Pertemuan itu menjadi peristiwa beruntung sekaligus nelangsa. (mengapa beruntung sekaligus nelangsa, nanti kujelaskan)
***
Saat semua
rangkaian acara seminar selesai dilaksanakan, sejurus kemudian semua peserta
bubar meninggalkan gedung megah itu. Di luar gedung, sebelum semuanya
terlambat, Fajar dengan segenap keberanian bercampur gugup, malu dan berbagai
perasaan yang bergemuruh dihatinya mencoba menghampiri si pemilik bola mata
menawan itu dengan harapan bisa tahu siapa namanya, dan jika dinaungi
keberuntungan, boleh jadi Fajar bisa mengetahui nomor teleponnya juga. Astaga, Fajar memulai basa-basinya, ber-ehem sejenak lantas memulai pembicaraan.
Lalu meluncurlah obrolan hangat itu, saling melempar kata, saling bertanya satu
sama lain. Dan beberapa kesimpulan
penting yang didapat Fajar dari percakapan itu adalah, “Namaku Rembulan… Aku kuliah di Uniersitas Andalas… Aku berasal dari Bukittinggi… Aku menghadiri
seminar ini karena aku ingin sekali kuliah di Al-Azhar kairo…. Nomor telepon? baiklah,
ini nomor telepon ku”. itulah beberapa kalimat yang terlontar darinya. Selebihnya,
selain mendapat beberapa hal penting tentangnya, Fajar memperoleh kabar yang
sangat baik. Gadis itu, meskipun menunjukkan ekspresi malu-malu saat berbincang
dengan Fajar tetapi dia sangat bersahaja dan supel, sehingga meskipun baru
pertama kali bertemu, Fajar bagaikan bertemu kawan lama. Dan aduhai, kabar baik
lainnya, Gadis itu tak hanya memiliki bola mata menawan, tetapi juga bersuara
lembut, dan boleh jadi gadis itu juga memiliki perangai yang menawan. Astaga,
Fajar sukses berkenalan sekaligus mendapat nomor telepon gadis jelita itu.
Padahal selama ini Fajar tak pernah seberani itu, terlalu pengecut, pemalu,
gugup dan semacamnya. Gadis itulah penyebabnya. Si jelita itulah sumber segala
keberanian Fajar.
“Jika sudah
sampai di Bukittinngi nanti, keberatan nggak
kalau aku meneleponmu? Sejujurnya, aku tidak mau perkenalan ini hanya
sepintas lalu”, Fajar melanjutkan pembicaraan dengan suara yang lebih
meyakinkan. Kegugupannya, hilang seketika.
“Sama
sekali tidak, kau boleh menghubungiku kapan saja. Semoga meski berbeda kota,
kita bisa menjadi teman yang baik ya”, Rembulan menimpali.
“Tentu
saja, terimakasih ya.. semoga suatu saat kita bisa bertemu lagi, di kota ini
atau dimanapun takdir berkehendak. O
iya, aku boleh tahu akun facebookmu?
“Aku juga
berharap bisa kembali ke kota ini lagi. Dan akan menjadi sebuah keberuntungan andai bisa bertemu
denganmu lagi. Soal akun facebook, ketik saja nama Rembulan Khairunnisa, itu namaku di facebook. Jangan lupa di add
ya!”
“Dengan
senang hati. Sekali lagi terimakasih ya. Jaga dirimu baik-baik.. sampai jumpa,
semoga selamat sampai Bukittinggi”. Fajar menyalami Rembulan dan bergegas pergi
meninggalkannya dengan hati berbunga-bunga.
Beberapa
bulan setelah perkenalan singkat itu,
Fajar mulai menelepon Rembulan yang berada di Bukittinggi sana, memulai
percakapan dengan bertanya kabar. Selanjutnya saling follow twitter, Path, line dan
jejaring sosial lainnya. Meski dalam jarak jauh, percakapan rutin terjadi setiap
hari, mulanya sekadar bertanya kamu sedang apa? sudah makan? Sudah shalat?
Bagaimana kuliahnya tadi?, hingga membicarakan filosofi hidup, cita-cita, hobi
masing-masing, membahas topik apa saja
yang kemudian terus berkembang semakin intens. Hingga sampailah
pembicaraan mereka pada topik yang sangat penting, yakni tentang kekaguman mereka
terhadap satu sama lain hingga mengarah kepada cita-cita perasaan. Mulai ada
perubahan sebutan dalam memanggil nama masing-masing pada percakapan mereka,
yang awalnya hanya saling menyebut nama, kini Rembulan memanggil Fajar dengan
sebutan ‘kak’, sedangkan Fajar
memanggil Rembulan dengan sebutan ‘dik’.
Dua tahun
menjalin komunikasi melalui telepon, Facebook, twitter, chatting dan berbagai alat komunikasi lainnya, sempurna sudah mereka saling mengenal satu
sama lain. Saling mengerti tabiat masing-masing, hafal mati tanggal lahir
masing-masing, kesibukan masing-masing dan tentu saja, mengerti dengan detail
perasaan masing-masing. Entah apa nama hubungan mereka. Terlalu naïf menilai
hubungan mereka sebagai Cinta dalam dunia maya. Cinta murahan yang seringkali
dipraktikkan oleh sindikat penculik dan perdagangan manusia yang mengobral
cinta melalui jejaring sosial kepada remaja
baru gede. Lantas setelah remaja itu termakan rayuan muslihat, kemudian
remaja itu diculik, dijual, bahkan diperkosa hingga tak segan-segan dibunuh. Meski
hanya melalui jejaring sosial ataupun sebatas menghubungi lewat telepon, tetapi
hubungan Rembulan dan Fajar tidak serendah itu. Bahkan jika dibanding pasangan
muda-mudi yang selalu bertemu di malam minggu, saling mengucap gombal setiap
kali bertemu, dan menghabiskan sepanjang hari dengan berpegangan tangan mesra,
bersisian, hubungan Rembulan dan Fajar jauh lebih romantis dan jauh lebih
intim, intim secara batin walaupun jauh dari kebersamaan fisik. Secara teknis,
mereka memang terbentang jarak ribuan kilometer, tetapi aduhai, mereka dekat secara
hati. Itulah yang membedakan mereka dengan pasangan lain yang dalam beberapa
kasus saling bersisian, dekat secara fisik, tetapi hati mereka saling menjauh.
Jangan tanyakan mengenai kepercayaan dan kesetiaan dari mereka berdua, juga
jangan pernah bertanya soal komitmen kepada mereka. Karena lihat saja, Rembulan
telah menolak empat kali lamaran yang datang dari lelaki yang jelas-jelas tak
jauh dari tempat tinggalnya, yang jelas-jelas dekat secara fisik dan bahkan
sangat jelas masa depannya. Dibanding Fajar yang tinggal ribuan kilometer dari
bukittinggi, dibanding Fajar yang hanya bisa mengucap halo, mengirim rindu, dan
menatap Rembulan dari kejauhan, hanya dari sebuah alat yang tak jauh dari
telepon atau laptop. Tetapi beruntung sekali bagi Fajar, meski laki-laki lain
puluhan kali berkunjung ke rumah Rembulan, berkali-kali melamar rembulan, serta
berkali-kali juga menemui Rembulan, tetap saja, meski dalam maya, bahkan Fajar
jauh lebih nyata di hati Rembulan. Bahkan Rembulan tak sedikit pun membiarkan
laki-laki lain sebentar saja mengisi singgasana hatinya yang sudah nyaman diisi
oleh seorang Fajar.
Dan
hubungan jarak jauh itu mulai menemui masalahnya mendekati tahun ketiga, ketika
rutinitas percakapan itu mulai berkurang intensitasnya. Dari setiap hari,
menjadi tiga hari sekali, kemudian seminggu sekali, hingga sempurna satu bulan
sekali. Di malam ke sekian setelah perkenalan mereka pertama kali, Fajar
bertanya melalui sebuah pesan dalam layanan Facebook, “kau kemana saja dik? Akhir-akhir ini, jarang sekali kau menyapaku,
bahkan salam dariku pun jarang kaujawab. Tak bisakah kau tetap seperti dulu?
Bertanya kabarku hampir setiap hari, menanyakan kesibukanku. Kau sering cerita
tentang mimpi-mimpimu padaku, tentang harapanmu yang sebagian di antaranya kaubebankan
kepadaku meski aku tak pernah merasa terbebani. Tentang harapan kita di masa
mendatang, yakni membangun kebersamaan dalam senyata-nyatanya kebersamaan.
Tetapi mengapa akhir-akhir ini kau malah terkesan menghindariku, menjauhiku.
Aku tak pernah mempermasalahkan ragamu yang jauh dariku, karena memang kotaku
dan kotamu terbentang jarak ribuan kilometer. Tetapi jika hatimu juga ikut
menjauh, aku mulai khawatir, sungguh sangat khawatir. Kau tahu, Dalam hubungan
yang terpisah oleh jarak ribuan kilometer, betapa pentingnya menjaga
komunikasi?. Lantas jika tak ada lagi kabar yang kau sampaikan padaku, tidak
ada lagi sapaan hangatmu, bagaimana mungkin aku bisa mengenalimu dengan baik.
Maka, bantulah aku untuk tetap mencintaimu dengan baik, sebaik kau menjaga
perasaanmu dari laki-laki lain untuk tetap memilihku. Dan, di akhir kalimat,
aku ingin mengatakan, semoga kau selalu baik-baik saja di sana, semoga di
sela-sela kesibukanmu meski sesibuk apapun, kau masih sempat menyapaku barang
sebentar saja.” Send. Fajar membiarkan untaian kalimat itu melesat hingga
sampai dalam dekapan Rembulan, di kota nun jauh di sana. Bukittinggi.
“Maafkan aku kak. Sungguh, aku tak bermaksud
menghindarimu, apalagi menjauhimu. Aku tak pernah sanggup melakukannya. Hanya
saja, akhir-akhir ini aku sangat sibuk, kak. Kau tahu bukan, saat ini aku
sedang memantapkan hafalan Al-Quran, aku sedang Muraja’ah agar hafal dengan
baik ayat demi ayat. Juga berbagai tugas kuliahku yang semakin banyak saja
mendekati UAS. Maka terimakasih karena tak putus-putusnya mendoakanku, walau
bagimu aku semakin menjauh darimu. Tapi percayalah, tak pernah sesenti pun aku
menjauhimu. Itu hanya perasaanmu saja, ketakutan-ketakutan yang kau ciptakan
sendiri. Baiklah, sesibuk apapun, aku akan berusaha menjawab salammu, menyapamu
dengan sapaan paling hangat. Salam. Adikmu.” Kalimat itulah yang dituliskan
Rembulan sehari setelah Fajar
mengirim pesan.
“Akhirnya kau menjawab pesanku, dik. Sungguh, aku sangat
bahagia mendengar kau menyapaku lagi…hehehe, kau pasti sangat sibuk ya di
sana?. Baiklah, seharusnya aku memang tak boleh terlalu sering mengganggumu.
Itu hanya akan merusak konsentrasi hafalan Quranmu. Hanya akan mengganggu
belajarmu. Dan bodohnya, aku berpikir yang tidak-tidak padamu, mencemaskan hal
yang tak seharusnya dicemaskan, dan menuntutmu untuk selalu menghubungiku.
Seharusnya kan tidak begitu. Maafkan aku juga ya dik. Sungguh, maafkan aku. Astaga,
aku lupa satu hal yang sangat penting, satu hal yang sudah sangat lama tak
pernah kutanyakan lagi padamu. Dan hari ini, izinkan aku bertanya hal itu
sekali lagi, masihkah kau mencintaiku.”
Balasan dari Fajar lagi.
“jangan khawatir, kak. Dalam diam kumencinta, dalam diam
kuberdoa. Kak, izinkan aku mencintaimu dalam diam, mencintaimu dalam senyap,
hingga seberapa pun gaduhnya perasaanmu dan perasaanku, hanya mampu didengar
oleh yang maha mendengar. Biarlah perasaan ini hanya menjadi rahasia antara aku,
engkau dan Tuhanku.” Rembulan membalas beberapa
jam kemudian.
Sejak
datangnya pesan itu, Fajar dan Rembulan tak pernah lagi berkirim pesan beberapa
bulan lamanya. Rembulan sempurna menghilang setelah terakhir kali mengirim
pesan itu. Menghilang dalam arti tak pernah lagi membalas pesan dari Fajar. Tak
pernah lagi bisa di sms dan di telepon. Semua akses komunikasi untuk
menghubunginya tertutup bagi Fajar. Hingga suatu hari, dalam kegamangan itu, dalam
situasi yang membuatnya menjadi tak jelas, menjadi kabur, Fajar bertemu sosok
lain yang pelan-pelan mengambil alih posisi nyaman Rembulan di hatinya.
Di tengah
terpuruknya komunikasi Rembulan dan Fajar, Fajar mulai berdamai dengan situasi
gelisahnya selama ini, gelisah lantaran tak bisa lagi menghubungi Rembulan. Rupanya
ada sosok lain yang menjadi penyebabnya, sosok yang belakangan memasuki
kehidupan Fajar. Sosok yang perlahan namun dengan rambatan yang pasti
menelikung hati Fajar dengan rasa simpati, lalu kemudian berubah menjadi
ketertarikan. Sosok itu dikenal Fajar ketika Fajar sedang melakukan bakti sosial
di sebuah panti asuhan. Sosok itu juga ambil bagian dalam kegiatan Baksos.
Singkat cerita, mereka berkenalan, lalu akrab hanya dalam hitungan hari. Sosok
itu, Ratna namanya. Ratna sempurna menggeser Rembulan dari singgasana hati
Fajar, membuat Rembulan sedikit terlupakan.
Kedekatan Ratna
dan Fajar semakin serius saja. Ratna yang berusia setahun lebih muda dari Fajar
serta-merta memanggil ‘kakak’ pada Fajar dalam obrolan sehari-hari mereka.
“kak, terimaksih ya telah menemaniku jalan-jalan seharian ini. terimakasih juga
atas buku yang kauberikan. Sungguh, akan kupastikan untuk selalu membacanya.”
Kalimat yang diucapkan Ratna saat ia sampai di depan rumah sehabis jalan-jalan
seharian bersama Fajar.
“sama-sama Ratna.
Bagiku, pergi bersamamu adalah sedikit waktu paling berkualitas dalam hidupku.
Terimakasih karena telah bersedia pergi bersamaku, dengan sepeda motor tuaku”.
Balas Fajar.
***
Kedekatan
Fajar dan Ratna terus berlanjut, namun ada sesuatu yang mengganjal di benak
Fajar, semakin hari bayang-bayang Rembulan semakin kuat justeru pada saat Fajar
dan Ratna semakin dekat. Fajar mulai menyadari, kedekatannya dengan Ratna
selama ini tak lebih dari pelampiasan rasa sepinya, bahkan boleh jadi Ratna
hanyalah pelampiasan kekecewaanya karena Rembulan tak pernah lagi menyapanya.
Celakanya, saat Fajar mabuk kepayang dengan pesona Ratna, ia mengirimkan sebuah
e-mail kepada Rembulan yang beberapa hari kemudian sangat ia sesali. Harusnya
ia tak pernah mengirim e-mail itu.
“Assalamu’alaikum
Rembulan, bagaimana kbarmu? Kabar imanmu? Juga kabar hatimu? Masihkah aku ada
di sana, di lubuk hatimu? Dik., ada hal yang ingin kusampaikan padamu. Aku
tidak berani mengirimimu pesan ini andai saja tak ada hal penting terjadi. 7
bulan yang lalu, aku berkenalan dengan seorang gadis, Ratna namanya. Pertemuan
kami dimulai saat kami melakukan Bakti sosial di salah satu Panti asuhan.
Seiring berjalannya waktu, kami mulai akrab, mulai sering telpon-telponan,
bahkan beberapa kali aku mengantarnya pulang, karena kebetulan ia kuliah di
kampus yang sama denganku. Perlahan namun pasti aku mulai mengaguminya. Tapi
dibanding denganmu tentu dia tak sepadan denganmu. Dia bukan hafidzah, dia
sholihah tapi mungkin kesholihahanmu jauh melampauinya. Dia pintar, tapi kamu
sepertinya lebih pintar. Dia cantik dalam kesederhanaan dan kamu.. mungkin juga
cantik tak terbantahkan. Hanya saja, DIA NYATA BAGIKU. Dia rupanya memiliki
jiwa sosial yang tinggi, dia begitu ringan membantu sesama, begitu antusias
memberi manfaat bagi orang banyak , begitu mencintai anak-anak yatim. Dan hari
itu aku sadar bahwa aku telah mencintainya. Aku belum tahu bagaimanakah
perasaannya terhadapku. Aku hanya tahu satu hal, yakni aku baru saja jatuh
cinta lagi. Lalu bagaimana denganmu? Sepertinya terlalu naïf bagiku jika aku
masih mengharapkanmu. Kau telah tumbuh menjadi wanita langit yang sulit kujamah.
Sedangkan aku, hanyalah butiran pasir yang wujud di mana-mana. Kau adalah yang
terindah, namun kau ghaib bagiku, hingga pada akhirnya kuputuskan untuk setia
pada yang nyata. Padanya walau tak seindah dirimu. Dia memang bukan wanita
sempurna, tapi setidaknya aku bisa sedikit membantunya mencapai kesempurnaan,
karena saat ini langkahnya sedang berjalan ke arah sana. Aku juga bisa
memastikan apakah dia membutuhkanku atau tidak, aku bisa merasakan tatapan
teduhnya, senyum menawannya dan suara lembutnya. Bahkan aku bisa mengimami
shalat maghribnya secara nyata. Dik , aku ikhlaskan kamu andainya kau menemukan
pemuda yang terbaik untukmu. Aku tak layak kau tunggu karena banyak laki-laki
yang lebih baik dan sempurna dariku. Aku juga mulai gamang dengan jarak di antara
kita. Dan 1 hal yang kuinginkan darimu, jangan pernah menangis untukku ya, air
matamu terlalu mahal jika digunakan untuk menangisi aku yang hina ini. maafkan
aku, meski kau boleh membenciku tapi sedikit saja berikan maafmu utk pemuda yg
paling sering mengganggu ketenanganmu. Mungkinkah kita bertemu di pintu
Ar-Rayyan?, entahlah… semoga kabar ini tak mengusikmu sedikitpun.. tetaplah
bahagia walau aku mungkin tak akan pernah nyata bagimu. Wassalamu’alaikum”. Send…..
Dua minggu kemudian, balasan dari
Rembulan akhirnya datang, “Wa'alaikumussalam
Ka, alhamdulillah aku baik2 saja, begitupun iman dan hatiku.. dan bagaimana
kabarmu? kabar keimananmu? Aku ikhlaskan ke-islahanmu dri hatiku selama ini..
jika itu memang membuatmu bahagia ka, apalah makna manusia semu lagi
fatamorgana ini, yang bermakna adalah yang nampak.. aku ridho atas dirimu,
jagalah bidadri kecilmu karena Rabb kita telah mengabulkan permintaanmu... "wahai
ILlahi yang Maha cinta, turunkanlah kekasih kecilmu ini dari ayunan qalbu yang
membuai dan biarkanlah aku berlari memanjakan jemari kakiku di atas rumput
lembut impian ini dan satukanlah aku dengan cintaku...." dan selain
aku.... juga seluruh malaikat ikut mengamininya... dan baru ku tahu inilah
ujung akhir harapku... sudahlah.. ka, hatiku diliputi rasa senang yang tak
terkira bercampur tangis bahagia.. maafkan aku jika selama mengenalmu banyak
salah yang ku perbuat,, salam manis untuk kekasih barumu disana.... pesanku
cintailah yang nyata itu tetap karena Allah karena DIA AKAN SELALU ADA TUK
MENJAGA namun ka meski aku ghaib bagimu, namun kau tetap wujud dalam diriku...
syukran jazilan.
Pesan balasan dari Rembulan bagaikan
sebuah tamparan keras yang benar-benar menohok hati Fajar. Rasa bersalah,
penyesalan, kesedihan semua bercampur jadi satu. Fajar tak pernah menyangka
akan seperti itu balasan dari Rembulan. Fajar lupa, bahwa dalam diamnya
Rembulan, Dalam heningnya komunikasi di antara mereka, dan dalam senyapnya
gejolak perasaan Rembulan, Rembulan tak pernah berhenti mendoakan Fajar, tak
pernah sedikit pun melupakan Fajar, juga tak pernah alpa mencintai Fajar.
Mencintai dalam diam, barangkali menjadi cara Rembulan mencintai Fajar. Walau
terbentang oleh jarak yang teramat jauh, tetapi sejatinya Rembulan sangat
mencintai Fajar. Dan pengkhianatan kecil itu, telah menghancurkan segalanya.
Ya, menghancurkan segalanya, termasuk kesetiaan Rembulan selama ini. akhirnya,
Rembulan menerima lamaran seorang laki-laki yang telah datang lima kali untuk
melamarnya. Resepsi pun di gelar beberapa minggu kemudian setelah lamaran
diterima.
Bagaimana dengan Fajar? Kabar
pernikahan Rembulan akhirnya sampai juga di telinga Fajar. Hubungan Fajar
dengan Ratna juga tak pernah terdengar lagi ketika Ia berterus terang mengenai
perasaannya yang masih mencintai Rembulan. Apakah keadaan akan berubah?
Nyatanya tidak, pernikahan Rembulan dengan Ustad Hilman –laki-laki pilihan Rembulan– tetap dilaksanakan, bahkan Fajar
menyempatkan untuk hadir. Memesan tiket pesawat Jakarta-Padang, lalu berganti-ganti
angkutan umum hingga akhirnya sampai di sebuah gedung, tempat dilaksanakannya
resepsi pernikahan Rembulan.
Aduhai, betapa khidmatnya pernikahan
itu. Betapa bahagianya dua mempelai yang berada dalam pelaminan. Tak
henti-hentinya tawa mewarnai pesta pernikahan Rembulan dan Hilman. Senyum
merekah para tamu serta semarak suasana yang menyempurnakan Pesta milik dua
Insan yang akan membangun keluarga sakinah, Mawaddah dan Rahmah. Tak ada cerita
lain selain kebahagiaan di sana. Namun lihatlah, di sudut gedung resepsi,
terdapat seorang pemuda yang terlihat kusut, bertampang muram dengan raut-raut
kesedihan, tergugu melihat peristiwa itu. Sebuah luka yang amat dalam lantaran
melihat gadis yang begitu dicintainya menikah dengan orang lain. Luka yang
menganga di antara riuhnya kebahagiaan dalam pesta.
***
Hidup
memang merupakan rangkaian pilihan dan keputusan. Hari ini Rembulan
mengamalkannya dengan baik, memilih Ustad Hilman untuk menikah dengannya dan
membuat sebuah keputusan untuk tidak lagi memberi tempat kepada Fajar.
Keputusan yang terbilang singkat untuk mengakhiri cinta yang hebat, cinta dalam
definisi jauh secara fisik namun dekat secara hati. Cinta yang mengharuskan kesetiaan
dan kepercayaan sebagai penguat jarak. Namun setelah pengkhianatan kecil Fajar,
apalah arti kesetiaan hati Rembulan. Dan
melalui sebuah pernikahan, Rembulan benar-benar memberi pelajaran, sekaligus
luka yang barangkali lebih pedih dari apa yang Fajar lakukan terhadap Rembulan.
***
Kisah ini
hanyalah fiktif, baik tokohnya maupun jalan ceritanya. Tetapi boleh jadi, luka
diam-diam dalam sebuah pesta pernikahan itu benar adanya, adalah sebuah
realita. Boleh jadi, dalam sebuah resepsi yang meriah dan penuh suka cita, ada
satu-dua orang yang merasa sedih atas
resepsi itu, merasa disakiti, dikhianati
dan bertanya dalam hati, mengapa
bukan aku yang menikah denganya? Mengapa dia yang kucintai menikah dengan orang
lain ? Mengapa pernikahan ini mesti terjadi? Mengapa ini dan itu?.
Tentu saja
sebelum dua orang memutuskan untuk menikah, bukankah mereka memiliki masa lalu
masing-masing yang boleh jadi dilalui bersama orang lain, juga boleh jadi
pasangan pengantin ini pernah mengalami cinta dan dicintai oleh orang lain.
Maka saat dua orang itu menyatu dalam sebuah pernikahan menjadi suami-isteri.
Orang-orang di luar sana yang pernah menaruh harap, terluka diam-diam,
tersakiti tanpa diketahui oleh yang menyakiti karena tertutup selimut perasaan.
Hanya waktu yang selalu baik hati mengobati luka, menumbuhkan harapan baru.
-Abdurahman El-Farizy-
0 Response to "Dalam sebuah pesta pernikahan, selalu saja ada yang terluka diam-diam"
Posting Komentar