Menyoal Aksi ‘Kutu loncat’ Jokowi
Jika kita
bertanya tentang siapa tokoh fenomenal dan popular di negeri ini dalam 2 tahun
terakhir, barangkali sosok bernama Joko Widodo
atau yang kerap disapa Jokowi layak dikedepankan sebagai jawaban dari
pertanyaan tersebut. Bagaimana tidak, tentu kita semua masih ingat siapa
Jokowi delapan tahun silam?. Kala itu
Jokowi hanyalah seorang Wali kota Solo. Setelah memulai karier politik sebagai
Walikota Solo, Jokowi kemudian melesat menjadi Gubernur DKI Jakarta, dan saat
ini, seorang Jokowi berpeluang melenggang mudah menuju Istana Presiden sebagai
orang nomor satu di negeri ini.
Publik
tentu masih mengingat dengan baik tentang kiprah politik Jokowi yang melesat
sedemikian cepat. Jika dirunut dari awal, tahun 2005 Jokowi resmi menjabat
sebagai Wali kota Solo berdampingan dengan
F.X. Hadi Rudyatmo sebagai Wakil Wali kota. Memimpin kota Solo pada
periode pertama, Jokowi-Rudy sukses mengubah wajah kota Solo menjadi lebih
baik, dengan menata para pedagang kaki lima, membenahi transportasi, pembenahan
pasar tradisional dan ruang terbuka hijau serta berbagai kebijakan lainnya
sehingga Kota Solo menjadi sangat tertib dan nyaman. Bahkan, solo memiliki Branding “The Spirit of Java.
Rentetan keberhasilan pada periode pertama membuat Jokowi-Rudy kembali terpilih melanjutkan kepemimpinannya di Kota Solo untuk periode kedua (2010-2015). Di periode kedua, duet kepemimpinan ini begitu banyak menuai pujian atas keberhasilannya memimpin kota Solo. Namun tujuh tahun kiprah Jokowi memimpin Kota Solo harus terhenti, bukan lantaran tersandung kasus Korupsi atau kasus Kriminal seperti yang umumnya dialami para pemimpin daerah, melainkan karena Jokowi didaulat menjadi Gubernur DKI Jakarta bersama Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) pada Tahun 2012. Kepopularan Jokowi sebagai Kandidat Wali kota terbaik di dunia serta kepiawaiannya dalam mengawal kota Solo, membuat elite PDIP dan Gerindra bersikeras mengusung Jokowi-Ahok sebagai Gubernur dan wakil Gubernur yang bertugas menciptakan ‘Jakarta Baru’. Meski melalui kontestasi yang tidak mudah dan harus bertempur dua putaran melawan kandidat incumbent Fauzi Bowo, pada tanggal 15 oktober 2012, Jokowi-Ahok akhirnya resmi menjadi pemimpin anyar DKI Jakarta untuk masa bakti 2012-2017. Namun, baru satu setengah tahun menjabat, Jokowi dikait-kaitkan masuk dalam bursa Capres pada Pilpres tahun ini. Dan benar saja, 14 maret 2014, Jokowi secara resmi didapuk sebagai calon Presiden dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.
Rentetan keberhasilan pada periode pertama membuat Jokowi-Rudy kembali terpilih melanjutkan kepemimpinannya di Kota Solo untuk periode kedua (2010-2015). Di periode kedua, duet kepemimpinan ini begitu banyak menuai pujian atas keberhasilannya memimpin kota Solo. Namun tujuh tahun kiprah Jokowi memimpin Kota Solo harus terhenti, bukan lantaran tersandung kasus Korupsi atau kasus Kriminal seperti yang umumnya dialami para pemimpin daerah, melainkan karena Jokowi didaulat menjadi Gubernur DKI Jakarta bersama Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) pada Tahun 2012. Kepopularan Jokowi sebagai Kandidat Wali kota terbaik di dunia serta kepiawaiannya dalam mengawal kota Solo, membuat elite PDIP dan Gerindra bersikeras mengusung Jokowi-Ahok sebagai Gubernur dan wakil Gubernur yang bertugas menciptakan ‘Jakarta Baru’. Meski melalui kontestasi yang tidak mudah dan harus bertempur dua putaran melawan kandidat incumbent Fauzi Bowo, pada tanggal 15 oktober 2012, Jokowi-Ahok akhirnya resmi menjadi pemimpin anyar DKI Jakarta untuk masa bakti 2012-2017. Namun, baru satu setengah tahun menjabat, Jokowi dikait-kaitkan masuk dalam bursa Capres pada Pilpres tahun ini. Dan benar saja, 14 maret 2014, Jokowi secara resmi didapuk sebagai calon Presiden dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.
Karier
politik yang cemerlang serta masih terhitung singkat, kini menempatkan Jokowi
sebagai tokoh potensial untuk memenangi Pilpres tahun ini. Jokowi berada di
garda terdepan kandidat Presiden 2014-2019 mengungguli nama-nama anyar seperti
Prabowo subianto, Mahfud MD, Jusuf Kalla, Aburizal Bakri, Wiranto dan beberapa
nama lainnya. Tak ada yang bisa menyangkal kedigdayaan Jokowi hari ini, bahkan
jika ditinjau dari aspek Popularitas (keterkenalan), elektabilitas
(keterpilihan), Acceptabilitas (penerimaan), serta favourabilitas (kesukaan), Jokowi selalu
menempati urutan teratas diantara tokoh-tokoh yang lain. Sosok Jokowi yang
dikenal luas sebagai pemimpin yang dekat dengan rakyat, humanis, gemar
blusukan, anti korupsi, tegas dan sederhana dinilai oleh banyak pihak sebagai
suatu keunggulan yang jarang dimiliki oleh tokoh lain. Jokowi merupakan figur
yang memiliki karakter lengkap untuk menjadi pemimpin skala Nasional. Karena
figur seperti Jokowilah yang barangkali diidam-idamkan oleh rakyat kebanyakan.
Mengingat pemimpin-pemimpin yang terdahulu dianggap belum mampu memenuhi
ekspektasi (harapan) rakyat Indonesia.
Banyak
pihak mengklaim Jokowi telah berhasil
membenahi DKI Jakarta. Dalam Wikipedia disebutkan Prestasi Jokowi selama
menjadi Gubernur Jakarta di antaranya ialah melakukan peningkatan upah minimum
provinsi, melakukan pembenahan transportasi massal, peremajaan Bus kota,
program kartu Jakarta Sehat (KJS) dan Kartu Jakarta Pintar (KJP), normalisasi
sungai dan waduk-waduk, Relokasi warga
bantaran kali dan pembangunan rumah susun,
pembangunan kampung deret, hingga pembenahan pasar tradisional dan
taman-taman serta menjadikan Jakarta sebagai kota festival. Selama satu
setengah tahun menjabat, setidaknya sudah ada yang baru dari kota Jakarta
terutama masalah reformasi birokrasi yang menekankan lelang jabatan, sehingga
birokrasi Jakarta perlahan menunjukkan sikap yang bersahabat bagi para
masyarakatnya. Barangkali, persoalan klasik seperti banjir dan kemacetan yang
belum menghadirkan cerita baru di ibu kota. Akan tetapi, publik mesti menyadari, serangkaian gebrakan yang dilakukan Jokowi belumlah mencapai klimaksnya. Ironisnya, kebijakan monumental Jokowi semuanya masih 'setengah matang'. wajar saja jika demikian, karena idealnya untuk bisa menjalankan kebijakan semonumental ini, diperlukan waktu sekurang-kurangnya 5 tahun.
Jokowi yang
kini menjadi media darling atas
pencapaiannya sebagai gubernur yang gemar blusukan dan dekat dengan rakyat,
juga dengan berbagai kebijakannya yang menuai banyak puja-puji, tak ayal menempatkan
Jokowi kini menjadi kandidat serius yang akan memenangkan Pilpres. Namun niat
Jokowi untuk menjadi Capres tentu tak didukung oleh semua pihak. Berbagai pro-kontra
pasti mewarnai perjalanan Jokowi menuju RI 1. Terlebih bagi masyarakat yang masih
menginginkan Jokowi sebagai Gubernur. Sebagai catatan, Jokowi pernah berjanji
akan memimpin Jakarta setidaknya selama 5 tahun. Keputusan Jokowi melenggang
sebagai capres seolah mencederai harapan masyarakat Jakarta yang terlanjur
mempercayai janji Jokowi untuk tidak beranjak dari kursi Gubernur. Tidak sampai
di situ, Jokowi yang dikenal gemar ‘kutu loncat’ atau berpindah-pindah posisi
jabatan sebelum selesai masanya mengesankan Jokowi sebagai pejabat yang
inkonsisten dalam mengemban masa tugas. Kita lagi-lagi ingat, dari 10 tahun
masa jabatan memimpin Solo yang harus diselesaikan, Jokowi hanya merampungkan 7
tahun saja, pun ketika memimpin Jakarta, Jokowi hanya akan mengawal kota
Jakarta 2 Tahun saja andai skenario menjadi capres terwujud. Jokowi boleh saja
berkilah bahwa trend ‘kutu loncat’ yang Ia lakukan sebagai tuntutan demokrasi
atau situasi dinamika politik, atau bisa
saja Jokowi mengatakan bahwa aksi ‘kutu loncat' yang Ia lakukan adalah kehendak
Partai di mana ia bernaung , yakni PDI perjuangan. Jokowi memang dikenal kader
yang sangat Loyal dengan Partai, apa yang dimau Partai, maka itulah yang
dilakukan Jokowi. Namun aksi kutu loncat Jokowi menuai banyak polemik. Ustadz
Bachtiar Nassir dalam akun Twitternya @BachtiarNasir, Sabtu malam (15/03), menuding Jokowi mewariskan kepemimpinan kafir dan selangkah
lagi mengkafirkan Indonesia. Apa yang disampaikan Ustadz Bachtiar Nassir memang
tidak sepenuhnya benar, akan tetapi jika menilik dari perjalanan Jokowi sebagai
Wali kota dan Gubernur, Jokowi selalu berpasangan dengan seorang wakil yang
beragama Kristen. Maka, ketika Jokowi meninggalkan posnya sebagai Wali kota dan
Gubernur, otomatis pengganti Jokowi adalah wakilnya yang beragama Kristen. Inilah
yang memicu kemarahan serta memunculkan stigma buruk terkait masalah SARA. Indonesia
memang dikenal sebagai Negara yang Demokratis, pluralis dan sangat toleran
dalam sosial kemasyarakatan. Akan tetapi, isu agama dalam konteks kepemimpinan
masih merupakan hal yang sensitif. Artinya, Indonesia yang mayoritas
berpenduduk Muslim masih menginginkan para pemimpin lokal maupun nasional yang
juga seorang Muslim. Ini tentu merupakan hal yang lumrah, karena lihat saja
Amerika serikat, bukankah Negara dengan mayoritas Kristen tersebut, tidak
pernah membiarkan tokoh Muslim memimpin di sana?. Maka langkah Jokowi dan PDIP
yang kerap memasangkan dirinya dengan politisi non-Muslim akan memicu spekulasi
negatif, terlebih saat Jokowi menghibahkan jabatan politiknya kepada wakilnya
yang non Muslim untuk memimpin kota Solo maupun Jakarta.
Jokowi yang
kini didaulat sebagai Capres harus bisa menjawab kritik serta tudingan miring
terhadap dirinya terkait isu mewariskan kepemimpinan Kristen di solo dan
Jakarta. Hal yang sama juga perlu di lakukan PDIP dalam mencarikan wakil bagi
Jokowi untuk Pilpres mendatang. PDIP perlu mempertimbangkan tokoh Muslim untuk
mendampingi Jokowi agar kesan Jokowi ingin mengkafirkan Indonesia terbantahkan.
Jokowi merupakan seorang Muslim yang sedianya dapat bekerja sama dengan seorang
muslim pula. Dan sejauh ini, Islam masih memiliki tokoh yang cukup potensial
dan berintegritas untuk mendampingi Jokowi, sebut saja Jusuf kalla, Abraham
Samad, Mahfud MD, Yusril Ihza Mahendra dan sederet nama lainnya yang juga layak
dikedepankan. Jika Jokowi dan PDIP mengusung duet kepemimpinan Muslim, tentu
tidak perlu ada lagi kekhawatiran akan isu SARA apalalagi kekhawatiran akan
kekalahan.
Sebagai
penutup tentu kita semua berharap jika Jokowi benar-benar menjadi Presiden
Republik Indonesia, maka Jokowi dapat membawa Indonesia ke arah yang lebih
baik. Karakter kepemimpinannya yang dinilai bersih, sederhana, tegas, dekat
dengan rakyat, dan memiliki integritas dalam menyelesaikan berbagai persoalan
dapat mewujudkan Indonesia terlepas dari jeratan Korupsi, mampu menghadirkan
kesejahteraan bagi seluruh rakyat, melakukan penegakan hukum, menciptakan
perdamaian dalam dan luar negeri, menjaga stabilitas ekonomi, sosial-politik
dan keamanan. Serta yang paling penting, kepemimpinan nasional Jokowi tidak
direcoki oleh kepentingan partai, apalagi jika kepentingan partai berseberangan
dengan kepentingan rakyat. Loyalitas Jokowi terhadap rakyat harus berada
diatas loyalitas Jokowi terhadap partai. Dan umpamanya Jokowi menjadi Presiden, semoga
Jokowi menjadi ‘The Real President’ bukanlah Presiden boneka seperti yang
ditakutkan banyak pihak. Jokowi juga harus menghentikan kebiasaan ‘kutu loncat’, memimpin
Indonesia hingga selesai. Hingga di akhir kepemimpinan, ada legacy yang
ditinggalkan dan juga dapat dirasakan oleh seluruh elemen bangsa. Dan yang
paling penting di atas semua, andainya Jokowi memang bernasib baik menjadi
Presiden, semoga tidak akan berdampak buruk pada nasib rakyat, utamanya
penduduk Muslim yang merupakan masyarakat mayoritas di negeri ini. Tidak ada
kepentingan asing, kepentingan kapitalis, persekongkolan media mainstream atau niat-niat terselubung
lainnya di balik pencapresan Jokowi. Silih bergantiya pemimpin bangsa, semoga
bukan hanya sekadar agenda rutin lima tahunan yang hanya menghasilkan pepesan
kosong. Semoga.
Abdurahman el-Farizy
Pemerhati Politik, Penulis kurang ajar namun memilih jalan
protagonis
0 Response to "Menyoal Aksi ‘Kutu loncat’ Jokowi"
Posting Komentar