Enam jam Bersamanya
Dia membuatku cemas, mebuatku
bertanya-tanya, membuatku gamang. Ah, segala rasa gundah menggenapi seluruh
pikirku tentangnya.
Masih ingat betul, hari itu
dia memanggil namaku dengan lembut ketika mata kuliah Sistem Komunikasi
Indonesia berlangsung. Aku yang sibuk dengan urusanku kala itu, seketika diam
dan segera mencari asal suara itu. Ternyata suara itu berasal darinya, gadis
cantik yang baru ku tahu namanya beberapa jam setelah perkuliahan selesai.
Dan beberapa bulan kemudian,
setelah kejadian pertama dia memanggilku, lagi-lagi dia membuatku cemas. Kali ini
penyebabnya adalah lantaran menunggu jawaban atas sebuah pertanyaan yang
kuajukan padanya, “maukah kau pergi bersamaku?”. Lama sekali bagiku untuk
mendengar jawaban “ya” darinya, hingga pada akhirnya dia bersedia pergi
bersamaku. Bisakah kaubayangkan
sebahagia apa aku hari itu?. Tapi, kebahagiaanku tak berlangsung lama. kecemasan kembali menyeruak, bukan hanya cemas
tapi juga gugup. Bagaimana tidak, seumur hidup aku tak pernah menawarkan
seorang wanita dengan kata-kata “maukah kau pergi denganku?” apalagi kepada
wanita yang baru kukenal. Tapi sudahlah, ini adalah momen langka yang
seharusnya disambut dengan penuh antusias. Dan ini adalah bentuk prestasi atas
sebuah keberanian mengajak pergi seorang gadis cantik. Aku baru saja memenangkan satu hal, yakni
meyakinkannya pergi bersamaku saat banyak lelaki yang mungkin juga menawarkan
pergi bersamanya, dan tahukah kawan? Dia memilihku. Lalu mengenai
kegugugupanku, rupanya dia sangat piawai membawa suasana yang canggung ini
menjadi lebih hangat. Kegugupanku hilang seketika, karena seolah-olah aku pergi
bersama orang yang sudah sangat lama kukenal. Enam jam aku habiskan waktu bersamanya,
dengan Jupiter tuaku , ditemani rintik-rintik hujan yang barangkali tetesannya begitu dingin bagi
banyak orang, tapi tidak bagiku. karena
nuansa hangat bersamanya membuat dinginnya hujan menjadi lenyap sama sekali. Enam jam bersamanya, bagiku adalah enam jam
terindah yang pernah kualami.
Hari itu dia pergi bersamaku,
mengisi jok belakang Jupiter tuaku yang
telah lama kosong tanpa penumpang. Hari itu, aku tidak berharap hal itu menjadi
hal yang pertama sekaligus terakhir. Aku
ingin ada hari-hari lain dimana aku dan dia kembali menyusuri jalan-jalan kota meski hanya dengan sepeda
motor sederhana, Jupiter tuaku. Hari-hari selanjutnya setelah hari itu,
jangankan kembali bersamanya, membaca huruf-huruf yang mewakili isi hatinya
saja amat sulit bagiku. semenjak itu dia menghilang atau lebih tepatnya
meghindar dariku. Mengabaikan pesan singkatku, mengacuhkan panggilan teleponku
dan mengunci rapat mulutnya saat kutanya kenapa. Entah, dosa besar apa yang baru kulakukan
padanya hingga ia begitu sempurna menjauhiku tanpa meninggalkan alasan yang
membuatku mafhum dengan perubahan sikapnya yang mendadak dingin. Barangkali aku
terlihat bodoh saat enam jam bersamanya,
terlalu membosankan atau terlalu kaku saat bicara padanya atau mungkin aku
kurang romantis atau humoris?. Jika karena kurang romantis atau humoris yang
jadi penyebabnya, harusnya ia tak perlu buru-buru pergi. Bagaimana mungkin aku
seketika romantis pada seseorang yang baru pertama kali kuajak pergi. Bagaimana
mungkin aku membuatnya tertawa sepanjang hari sedangkan aku belum menemukan
selera humornya. Jika ia mau sedikit saja bersabar untuk mengenalku lebih jauh dan membiarkan aku mengenalnya lebih dekat,
barangkali aku akan menjadi orang yang paling romantis juga paling humoris
untuknya, barangkali. Tapi toh, sebelum itu terjadi ia sudah pergi dengan
alasan yang masih misteri. Alasan yang hanya dia yang tahu.
Enam jam bersamanya hari itu,
aku berusaha menanam jejak dihatinya, akan tetapi meninggalkan jejak dihatinya
seperti meninggalkan jejak di pantai yang seketika itu juga hilang disapu
ombak. Mungkin dia sudah lupa tentang mantel yang kuberikan padanya saat hujan menusukkan hawa dingin di tubuhnya,
juga tentang cahaya di atas cahaya. Tapi sudahlah, aku juga tidak
memaksanya untuk mengingat semua itu,
apalagi mengenangnya. Biarlah aku saja yang mengingat sinar matanya saat kami
makan bersama di kedai sederhana, biarlah aku saja yang mengingat senyum
terbaiknya yang kulihat saat aku memujinya, dan biarlah aku saja yang mengingat
saat dia menunduk takzim dan menempelkan dahinya di tanganku layaknya salam
takzim seorang isteri pada suaminya, lalu mengucapkan sampai jumpa meskipun tak ada jaminan akan berjumpa lagi dan meninggalkan sebuah pesan "hati-hati sampai di rumah".
Enam jam bersamanya,
setidaknya membubuhkan banyak kenangan. Singkat memang, namun berkesan bagiku
walau mungkin tidak baginya. Setidaknya selama enam jam itu aku pernah berada
sangat dekat dengannya, bercerita sepanjang jalan pulang menuju rumahnya hingga
kami tersesat di jalan yang tak seharusnya dilalui. Setidaknya walaupun tak
terulang lagi, aku pernah membawanya pergi bersama Jupiter tuaku dan tentu tidak
semua orang berkesempatan bisa pergi bersamanya. Setidaknya enam jam bersamanya
membuatku mengerti tentang indahnya berbagi, karena darinya lah aku diajarkan
berbagi kepada yatim piatu maupun fakir miskin saat aku mengantarnya mendatangi
panti asuhan.
terimakasih karena kau pernah
menerima tawaran pergi denganku, menaiki Jupiter tuaku, terimakasih karena telah
mengukir sejarah bersamaku, sejarah yang hanya butuh waktu enam jam untuk
digoreskan. Doakan aku, semoga secepatnya menemukan pengganti yang akan mengisi
jok belakang motorku jika memang kau tak bersedia lagi mengisinya. Doakan agar
aku tak semudah itu melupakanmu. Doaku, semoga kau tak menyisakan benci yang kau alamatkan padaku.
Di hari lain andai ada
kesempatan lagi mengajakmu pergi, aku akan mencoba menjadi sosok yang paling
menyenangkan untukmu. Tapi…., ah sudahlah.
Tulisan ini untukmu, R.A.W
(semoga suatu saat kau membacanya)
Lanjutkan kawan !!!:')