Kutukan Kecantikan Miss X
11/24/2012 07:43:00 PM
Kamu dan secangkir kopi sastra
, Posted in
cinta
,
0 Comments
Selepas kuliah, saya bergegas ke
Bintaro Plaza. Apalagi tujuan saya jika bukan mengunjungi Gramedia.
Berlama-lama di Gramedia, memilah-milah buku lalu membacanya sebelum membeli adalah cara
terbaik mendapat buku yang benar-benar kita butuhkan. Dan menghabiskan banyak
waktu di toko buku barangkali merupakan cara berharga dalam membuang waktu.
Dari sekian banyak buku yang saya
temukan, terdapat sebuah cerpen yang berjudul
kutukan kecantikan Miss X. saya terpekur, mencoba-coba menerka bagaimana jalan
ceritanya dan bagaimana mungkin
kecantikan bisa mendatangkan kutukan?. Ternyata
beginilah ceritanya :
Aku menuangkan satu sachet kopi
dengan campuran dua sachet gula rendah kalori ke dalam gelas plastic medum
size yang terisi air panas, lalu mengaduknya perlahan hingga tercampur
sempurna. Saat ini arlojiku menunjukkan pukul setengah tujuh. Masih terlalu
pagi menurut kelaziman untuk duduk sarapan di salah satu kedai fast food yang
banyak berjejer di pelataran ruang tunggu bandara ini.
Hari ini, sahabat baikku Bagus akan
segera datang dari Frankfurt, namun pesawat yang membawanya baru akan tiba satu
jam lagi. Satu jam yang terasa lama jika digunakan untuk menunggu, namun entah
mengapa aku menikmati satu jam menunggunya, sebenarnya aku memang membutuhkan
suasana seperti ini, karena selama satu jam ini aku bisa mengingat dengan
nyaman kenangan-kenangan bersamanya. Sambil menyeruput kopi aku menyalakan laptop
dan membuka email darinya. Dalam sebuah
attachment kirimannya, aku melihat foto Bagus sedang tertawa lebar sambil
memeluk istrinya yang menggendong Bayi
mereka. Bagus juga menjelaskan kenapa ia dan istri berkunjung ke Jakarta, Dia bilang, “istriku Anna, yang sratus persen asli
jerman ingin sungkeman dengan orang
tuaku di sini”. Walaupun kutahu sebenarnya Anna ingin sekalian plesiran di Kota
ini.
Aku pertama kali mengenal Bagus
sebenarnya dalam situasi yang tidak menyenanngkan, saat itu kami sama-sama terjebak
dalam “ruang dosa” ospek kampus baruku. Kami teraniaya bersama dan merasa
senasib, dan pada saat itulah kami yang senasib ini dengan mudah menjadi
sahabat baik. Walaupun beda fakultas kami sering betemu karena ternyata bagus
tinggal di pondokan yang sama, hingga akhirnya kami memutuskan untuk tetap
tinggal bersama di tempat tersebut sampai lulus hingga kemudian bekerja.
Tak
ayal, setiap malam kami mengisi kebersamaan dengan percakapan, diskusi,
perdebatan hingga curhat. Awalnya obrolan
kami hanya seputar masalah perkuliahan, hobi dan kegiatan kampus. Tetapi
semakin ke sini, filosofi hidup, cita-cita dan percintaan menjadi topik rutin
yang kami bicarakan. Aku selalu mengambil inisiatif obrolan, dan bagus selalu
menjadi pendengar yang baik. Bagiku Bagus adalah teman curhat terbaik karena ia
bukan saja pendengar yang baik, tetapi juga ia adalah pemberi solusi yang
cerdas. Aku menyukai prinsipnya, jalan pikirannya dan sikapnya dalam menghadapi
berbagai persoalan. Dalam banyak hal dia
adalah orang yang cerdas, kecuali dalam satu hal, soal wanita.
*****
Aku ingat betul, malam itu pukul
Sembilan kurang sepermpat. Tanpa mengetuk pintu, ia menyerbu masuk kamarku laiknya serdadu perang tanpa salam.
“Gila, cantik banget Rik!”. Ia bahkan belum membuka kaus kaki dan
seragam necisnya. Aku terpekur melihat
ekspresi sumringahnya. Segera kututup laptopku dan mulai membalas kebaikannya.
Menjadi pendengar yang baik.
“Siapa yang lu bilang cantik?”, tanyaku.
“lu pasti gak akan percaya. Hari ini kan gue dipindah tugas
ke cabang Sudirman, terus gue naik bus 102. Lu tahu gak siapa yang gue temuin?
Cewek, man. Dan lu tahu?,
nilainya sebelas dari nol sampai sepuluh.” Ia mengatakan sambil mengacungkan
sepuluh jarinya --tentu saja bukan sebelas.
Miss X, begitulah kami sepakat
memanggilnya dalam obrolan kami selama seminggu ini. Karena selama seminggu
ini, Bagus belum berani mendekatinya apalagi bertanya
namanya. Aku yakin namanya tak sependek itu, tapi karena Bagus belum tahu
namanya, terpaksa kami gunakan nama itu di percakapan rutin malam.
Dia adalah gadis berkerudung,
berkulit putih, wajahnya seakan bercahaya, memiliki bibir yang mungil, terdapat tahi
lalat dibawah bibir tipisnya, memiliki dagu yang aduhai dan mata indah serta
hidung bangir. Sebuah deskripsi sempurna untuk wanita yang hanya dilihatnya
dalam sekilas. Aku tidak percaya, apa mungkin ada wanita sesempurna itu?.
Benar-benar tidak percaya. Meski rasanya
mustahil mempercayai adanya gadis secantik itu, aku memutuskan untuk tetap
antusias mendengarkan ceritanya. Dan selama tiga bulan berlalu, gadis itu
sempurna mewarnai percakapan kami tiap malam.
Aku selalu mengolok-oloknya, tiga
bulan ia mengenal Miss X namun belum juga mendatangkan kemajuan yang berarti, tetapi
ia menerimanya dengan santai. Hingga pada akhir bulan aku mendengar Bagus
menceritakan perkembangan baru.
“Gue tadi berangkat pukul setengah 6
pagi, lu tahu kan Rik?”
“iya gue tahu, tapi untuk apa lu
berangkat sepagi itu, lu pindah ke cabang yang lebih jauh? bukannya lu biasa
berangkat jam tujuh?”
“ nggak friend, Gue sengaja nggak
nyetop bus di halte kampus, gue ke terminal dulu”.
Aku tahu maksud Bagus ikut ke
terminal, tujuannya tidak lain agar bisa duduk di samping Miss X. dengan naik
bus dari halte kampus, Bagus tidak pernah punya kesempatan duduk di samping
Miss X karena kursi di sampingnya selalu terisi penuh. Jika ia naik dari
terminal, Bagus punya kesempatan duduk di samping gadis itu. Lalu aku tanyakan
padanya,
“apa lu berhasil duduk di sampingnya?”
“gue gak berani Rik.”
“Bah! Dasar pengecut”
****
Topik seputar Miss X terus berlanjut
hingga enam bulan sejak pertama kali Bagus menceritakannya. Aku mulai Bosan dan
kehilangan semangat lagi untuk mendengar ceritanya. Aku merasa, apa yang
dialami Bagus selama ini sangat memalukan. Semakin menjijikan ketika Bagus
mengatakan, “gue nggak bisa hidup tanpanya Rik”. Akan tetapi fakta bahwa ia
begitu menyukai Miss X tak juga mampu membuatnya berani bertindak lebih. Aku
sering mendengar alasan-alasan mengapa ia begitu pengecut di hadapan Miss X,
tetapi tetap saja aku tak bisa terima. Aku sering menceritakan padanya tentang
kisah suksesku menaklukkan hati Adinda dengan berdiri depan rumahnya
berhari-hari, lalu soal Ratna yang kutaklukan dengan berpura-pura menyukai
Hobinya membaca novel sebagai alasan agar aku bisa meminjam novel-novelnya dan
tentu saja bisa lebih dekat dengannya. Puluhan referensi telah kulemparkan
padanya tentang bagaimana melakukan PDKT, tapi semua menjadi percuma, Bagus
tetap bertahan dengan kepengecutannya.
Bulan depan genap setahun malamku dihabiskan
dengan membahas Miss X. Dan ketika aku mulai cemas malam-malamku akan
dihabiskan setahun dengan obrolan mubadzir seputar Miss X, malam itu Bagus
datang ke kamarku, mengabarkan soal lain, ia mendapat tugas belajar ke Jerman.
Aku tercengang, bukan karena surprise terbebas dari obrolan seputar topik yang
menjengkelkanku, tapi bagiku itu terlalu mendadak .
“nggak mendadak juga sih Rik, gue
udah memikirkannya sejak enam bulan lalu, tapi gue nggak pernah sempat cerita
ke lu.”
Hmmm, tentu saja tidak pernah sempat.
***
Semenjak itu, ia tidak pernah lagi
bercerita seputar Miss X sampai ia berangkat ke Jerman. Obrolan seputar Miss X
benar-benar tutup buku. Dalam email-email kirimannya ketika berada di jerman hanya
sekali ia membahas Miss X. Dan itu dikirimnya saat ia mengenal Anna sebagai
partner risetnya di Universitas Jerman enam bulan setelah ia berada di sana.
“Rik, setelah gue pikir-pikir, gue
bukanlah cowok pengecut seperti yang lu olok-olokkan selama ini. Buktinya gue
bisa dekat dengan Anna. Prosesnya begitu lancar. Gue rasa untuk mendekati Anna,
nggak perlu tuh menggunakan tips-tips dari lu itu.”
“tapi kenapa waktu itu sangat sulit
ya? Gue juga gak tahu persis kenapa. Ah, mungkin gadis itulah penyebabnya. Dialah
masalahnya. Bagi gue, sosoknya terlalu kuat, Friend. Terlalu mempesona.
Membuat gue begitu terdeterminasi. Gue pastikan Rik, laki-laki yang pernah
mengenal dan memiliki perasaan suka dengannya juga mengalami hal yang sama
seperti gue. Mungkin dia adalah kutukan atas sebuah kecantikan.”
Aku tersenyum sambil nyengir hambar
sekaligus getir.
***
Sekarang Pukul delapan, pesawat yang
membawa Bagus sudah mendarat lima belas menit yang lalu. Kopi dan cake yang
kupesan juga sudah tandas semua. Saat ini mungkin Bagus sedang menggandeng
istrinya sambil mendorong kereta bayinya. Aku segera meninggalkan fast food
untuk bergegas menemuinya.
Apa yang pertama kali akan kulakukan
pada sahabat terbaikku ini? Bersalaman dan Tersenyum lepas sambil memeluknya
kah? Menyapa dan menanyakan kabarnya? Atau mengungkapkan segala kejadian yang tidak ia ketahui selama ia di Jerman? Tiba-tiba aku berdiri di depan pintu
keluar penumpang itu dengan perasaan yang tidak kukenali lagi.
Ah, seandainya bagus tahu, hari ini
tepat dua tahun lamanya aku juga tersiksa, sejak Sehari setelah aku
mengantarnya ke bandara waktu itu. Seandainya Ia tahu apa yang kulakukan selama
dua tahun belakangan.
Aku begitu terpukul melihat air
mukanya yang sangat kecewa waktu itu. Satu-satunya penyebab kekecewaannya
apalagi kalau bukan persoalan Miss X. aku tahu perasaannya pasti sangat perih
karena tak pernah sempat menyapanya, bahkan tak pernah tahu siapa namanya.
Karena itulah aku sangat benci dengan Miss X, begitu dendam dengan gadis itu.
Harus ada “perhitungan” yang kubuat dengannya, karena dialah yang menyebabkan
teman terbaikku murung dan terluka. Sehari setelah mengantarnya ke bandara, aku
memutuskan untuk menemuinya di atas patas AC 102.
Namun yang terjadi hari itu, saat aku benar-banr bertemu dengannya di bus itu, aku mulai mempercayai apa yang kaukatakan Gus. Hingga hari ini genap sudah dua
tahun aku “terpaksa” menaiki bus itu, padahal kau tahu persis rute bus itu
dengan kantorku jaraknya bagai langit dan bumi. Selalu ada obsesi yang
memaksaku untuk melirik kursi dekat jendela sebelah kiri baris kedua dari depan
itu. Ada berjuta kebahagiaan saat aku memandang sekilas wajahnya yang begitu
…..ah, ada sebuah ekstase di sana
Kau benar Gus, dia adalah kutukan
sempurna atas sebuah kecantikan. Dan ternyata aku tak bisa melakukan lebih dari
yang kaulakukan, bahkan hanya untuk sekedar mengatakan, “hai, aku Erik. Boleh
kenalan?”………. tak pernah berani
####
Abdurahman El-farizy.. inspired by Tere Liye
0 Response to "Kutukan Kecantikan Miss X"
Posting Komentar